Social Icons

Halaman

8 Mei 2013

Larung

Aku Raditya

            Aku menunggu ibuku di dalam mobil. Dari balik kaca jendela yang terbuka setengahnya. Anak itu kurus, lebih kurus dari pada anak-anak seusianya. Awalnya aku takut. Takut kalau pada akhirnya ibu dan ayahku akan lebih mencintainya dari pada mencintaiku, Radit; Anak kandungnya.
           
            Namaku Raditya. Anak tunggal dari keluarga Bramantyo Hadi Saputro. Pengusaha properti terbesar di Jakarta. Ibuku adalah perempuan jelmaan bidadari. Kau boleh percaya atau menafikannya. Di meja makan kami terbiasa membicarakan semuanya. Mulai dari kegiatan sekolah, jadwal berlibur, bahkan ketika akhirnya kedua orang tuaku bertengkar, mereka menyelesaikan semuanya di meja makan. Jangan harap kau temukan acara lempar piring, garpu atau banting vas bunga, seperti di sinetron-sinetron. Mereka mengajariku bagaiman bersikap sebagai orang dewasa, meskipun seringkali aku gagal menerima pelajaran itu.

            “Mas boleh memilih. Mencari istri baru atau mengadopsi anak?”

            Aku lahir dengan kondisi di mana ibuku takkan bisa mengandung untuk kedua atau seterusnya. Meskipun sebenarnya duniaku tak pernah sepi. Karena aku tak pernah merasa sendiri. Ada banyak teman-temanku yang sering bermain sepulang mereka dari sekolah.

Aku Larung

“Bolehkah saya memanggil Nyonya dengan kata tante?”
“Kau boleh memanggilku dengan sapaan apa saja, Nak.”
“Larung, Tante.”

            Namaku Larung. Aku tak tahu siapa ayah dan ibuku. Barangkali aku seperti unta nabi Sholeh, atau mungkin juga hasil genetik dari ilmu pengetahuan yang baru. Tapi rasanya meskipun aku bodoh, tak mungkin kiranya aku lahir dari batu, mustahil juga aku lahir dari kumpulan angka-angka yang dikombinasikan dari hasil perhitungan dan percampuran silikon, dioda dan transistor.

            Mulanya aku canggung memanggil perempuan yang mengadopsiku itu dengan panggilan ibu. Tapi setelah hari berganti minggu, rasanya aku terlalu angkuh dan tak tahu sopan santun. Tidak tahu cara berterima kasih. Dia terlalu baik bagiku. Perlahan tapi pasti, aku beranikan diri memanggilnya ibu.

            Hanya selembar foto. Gadis berkepang dua rambutnya. Juga sebuah nama yang terdengar aneh untukku. Ciumawati. Konon kata pengasuhku dulu itulah ibu kandungku. Tapi lambat laun nama itu kuendapkan juga dalam bagian terdalam dari kepalaku.

Aku Silvia
           
            Akhirnya mas Bram mengalah. Mungkin bosan tiap kali mendengar rengekannku. Aku kasihan pada Radit. Kasihan ketika rumah sebesar ini hanya diisi oleh beberapa gelintir orang saja. Selebihnya hanya ada asisten rumah tangga. Meskipun mereka sudah kuanggap sebagai keluarga. Tak mungkin Radit harus selalu berteman dengan kucing dan kura-kura kesayangannya.
           
            Mas Bram tidak salah pilih. Larung anak yang baik. Anak yang pandai menempatkan posisi. Entah dari mana dia belajar. Dia menjadi sosok kakak yang kuharapkan adanya. Tapi kian hari perasaan itu sungguh menakutkanku. Karena anak pungutku tumbuh menjadi anak yang lebih sempurna dari pada anak kandungku.

            Larung tak pernah meminta sesuatu apa pun. Bahkan ketika sedang belanja, ia sering menolak jika aku ingin membelikannya sesuatu.
            “Ma, punya Arung masih bagus kok. Nggak usah beli.”
            Beberapa kali kesempatan. Ketika mereka sempat bersitegang, Arung lebih banyak mengalah. Senyumnya. Sopan santunnya. Perangainya mengingatkan aku pada sosok mas Bram muda. Sosok yang membuat aku menaruh hati padanya.

Aku Mata Ketiga.
           
            Aku adalah “tuhan” bagi keluarga itu. Setidaknya aku akan meminjam sebentar kuasa Tuhan sebenarnya. akan kuceritakan padamu seperti aku mendongengkan anak-anakku yang takut gelap. Takut ketika tidur sendirian. Televisilah yang membuat mereka menjadi takut. Kata mereka gelap itu berhantu. Gelap itu banyak monster. Lalu mulai kukarang-karanglah cerita sederhana sekedar untuk membuat mereka tertawa. Tapi lama-kelamaan istriku juga meminta cerita yang sama. Maka kukisahkan semua cerita di atas untuk istriku tercinta.

            “Terus bagiamana kisah selanjutnya, Mas.”

            Larung tumbuh menjadi pemuda tampan, baik hati, ramah, murah senyum. Bahkan terlalu sempurna sebagai seorang manusia. Ia lebih banyak mengalah dari adiknya. Dia seolah-olah menjadi bayangan yang setia pada benda aslinya. Bahkan lebih cenderung seperti seorang budak pada majikannya.

            Istriku, perlu kau ketahui. Bahwa seorang pendengar yang baik, seorang pemerhati yang baik, akan tumbuh menjadi pribadi yang mengagumkan. Dan Larung tumbuh menjadi pemuda seperti dalam kisah cerita dari surga.
           
            “Lalu... lalu...?”
            “Bentar, sabar sedikit. Susah mengarang-ngarang cerita langsung begini.”
           
            Usia, Larung dan Raditya hanya terpaut beberapa bulan saja. Makanya orang tua mereka menyekolahkan mereka satu sekolah yang sama. Bahkan ketika mereka kuliah. Hanya saja ketika kuliah, mereka berdua mengambil jurusan yang berbeda.

            Raditya mengikuti jejak ayahnya. Masuk jurusan arsitektur. Sedang Larung memilih jurusan komunikasi. Prestasi keduanya begitu mengagumkan. Sedari SMP hingga SMA nilai keduanya saling kejar-mengejar. Rangking satu dan dua selalu bergeser antara kakak beradik itu.

            “Terus... terus...”
            “Terus... terus kayak tukang parkir saja. Sudah ah, aku capek. Mau istirahat saja.”
            “Ayolah mas, lanjutkan ceritanya. Nggak ah. Aku ngantuk.”
           
            Jakarta, 08 Mei 2013

            Damar Panuluh Jiwo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates