Aku Raditya
Aku menunggu
ibuku di dalam mobil. Dari balik kaca jendela yang terbuka setengahnya. Anak
itu kurus, lebih kurus dari pada anak-anak seusianya. Awalnya aku takut. Takut
kalau pada akhirnya ibu dan ayahku akan lebih mencintainya dari pada
mencintaiku, Radit; Anak kandungnya.
Namaku
Raditya. Anak tunggal dari keluarga Bramantyo Hadi Saputro. Pengusaha properti
terbesar di Jakarta. Ibuku adalah perempuan jelmaan bidadari. Kau boleh percaya
atau menafikannya. Di meja makan kami terbiasa membicarakan semuanya. Mulai dari
kegiatan sekolah, jadwal berlibur, bahkan ketika akhirnya kedua orang tuaku
bertengkar, mereka menyelesaikan semuanya di meja makan. Jangan harap kau
temukan acara lempar piring, garpu atau banting vas bunga, seperti di
sinetron-sinetron. Mereka mengajariku bagaiman bersikap sebagai orang dewasa,
meskipun seringkali aku gagal menerima pelajaran itu.
“Mas boleh
memilih. Mencari istri baru atau mengadopsi anak?”
Aku lahir
dengan kondisi di mana ibuku takkan bisa mengandung untuk kedua atau
seterusnya. Meskipun sebenarnya duniaku tak pernah sepi. Karena aku tak pernah
merasa sendiri. Ada banyak teman-temanku yang sering bermain sepulang mereka
dari sekolah.
Aku Larung
“Bolehkah saya memanggil Nyonya dengan kata tante?”
“Kau boleh memanggilku dengan sapaan apa saja, Nak.”
“Larung, Tante.”
Namaku
Larung. Aku tak tahu siapa ayah dan ibuku. Barangkali aku seperti unta nabi Sholeh,
atau mungkin juga hasil genetik dari ilmu pengetahuan yang baru. Tapi rasanya
meskipun aku bodoh, tak mungkin kiranya aku lahir dari batu, mustahil juga aku
lahir dari kumpulan angka-angka yang dikombinasikan dari hasil perhitungan dan
percampuran silikon, dioda dan transistor.
Mulanya aku
canggung memanggil perempuan yang mengadopsiku itu dengan panggilan ibu. Tapi setelah
hari berganti minggu, rasanya aku terlalu angkuh dan tak tahu sopan santun.
Tidak tahu cara berterima kasih. Dia terlalu baik bagiku. Perlahan tapi pasti,
aku beranikan diri memanggilnya ibu.
Hanya
selembar foto. Gadis berkepang dua rambutnya. Juga sebuah nama yang terdengar
aneh untukku. Ciumawati. Konon kata pengasuhku dulu itulah ibu kandungku. Tapi lambat
laun nama itu kuendapkan juga dalam bagian terdalam dari kepalaku.
Aku Silvia
Akhirnya mas
Bram mengalah. Mungkin bosan tiap kali mendengar rengekannku. Aku kasihan pada
Radit. Kasihan ketika rumah sebesar ini hanya diisi oleh beberapa gelintir
orang saja. Selebihnya hanya ada asisten rumah tangga. Meskipun mereka sudah
kuanggap sebagai keluarga. Tak mungkin Radit harus selalu berteman dengan
kucing dan kura-kura kesayangannya.
Mas Bram
tidak salah pilih. Larung anak yang baik. Anak yang pandai menempatkan posisi. Entah
dari mana dia belajar. Dia menjadi sosok kakak yang kuharapkan adanya. Tapi kian
hari perasaan itu sungguh menakutkanku. Karena anak pungutku tumbuh menjadi
anak yang lebih sempurna dari pada anak kandungku.
Larung tak
pernah meminta sesuatu apa pun. Bahkan ketika sedang belanja, ia sering menolak
jika aku ingin membelikannya sesuatu.
“Ma, punya
Arung masih bagus kok. Nggak usah beli.”
Beberapa
kali kesempatan. Ketika mereka sempat bersitegang, Arung lebih banyak mengalah.
Senyumnya. Sopan santunnya. Perangainya mengingatkan aku pada sosok mas Bram
muda. Sosok yang membuat aku menaruh hati padanya.
Aku Mata Ketiga.
Aku adalah “tuhan” bagi keluarga itu. Setidaknya aku akan meminjam
sebentar kuasa Tuhan sebenarnya. akan kuceritakan padamu seperti aku
mendongengkan anak-anakku yang takut gelap. Takut ketika tidur sendirian. Televisilah
yang membuat mereka menjadi takut. Kata mereka gelap itu berhantu. Gelap itu
banyak monster. Lalu mulai kukarang-karanglah cerita sederhana sekedar untuk
membuat mereka tertawa. Tapi lama-kelamaan istriku juga meminta cerita yang
sama. Maka kukisahkan semua cerita di atas untuk istriku tercinta.
“Terus
bagiamana kisah selanjutnya, Mas.”
Larung tumbuh
menjadi pemuda tampan, baik hati, ramah, murah senyum. Bahkan terlalu sempurna
sebagai seorang manusia. Ia lebih banyak mengalah dari adiknya. Dia seolah-olah
menjadi bayangan yang setia pada benda aslinya. Bahkan lebih cenderung seperti
seorang budak pada majikannya.
Istriku,
perlu kau ketahui. Bahwa seorang pendengar yang baik, seorang pemerhati yang
baik, akan tumbuh menjadi pribadi yang mengagumkan. Dan Larung tumbuh menjadi
pemuda seperti dalam kisah cerita dari surga.
“Lalu... lalu...?”
“Bentar,
sabar sedikit. Susah mengarang-ngarang cerita langsung begini.”
Usia, Larung
dan Raditya hanya terpaut beberapa bulan saja. Makanya orang tua mereka
menyekolahkan mereka satu sekolah yang sama. Bahkan ketika mereka kuliah. Hanya
saja ketika kuliah, mereka berdua mengambil jurusan yang berbeda.
Raditya
mengikuti jejak ayahnya. Masuk jurusan arsitektur. Sedang Larung memilih
jurusan komunikasi. Prestasi keduanya begitu mengagumkan. Sedari SMP hingga SMA
nilai keduanya saling kejar-mengejar. Rangking satu dan dua selalu bergeser
antara kakak beradik itu.
“Terus...
terus...”
“Terus...
terus kayak tukang parkir saja. Sudah ah, aku capek. Mau istirahat saja.”
“Ayolah mas,
lanjutkan ceritanya. Nggak ah. Aku ngantuk.”
Jakarta, 08
Mei 2013
Damar
Panuluh Jiwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar