Banyak orang yang memilih menjadi
rumput. Padahal dia adalah sebatang kayu jati yang menyaru diri. Kenyataannya dia
memilih untuk meruduk dari pada mendongakkan dahi. Semua butuh proses. Dan itu
tak cukup hitungan hari.
Beberapa orang bahkan dengan
angkuhnya berani berkata, “Hidup itu tak semudah cocote, Mario Teguh.” (cocote=
bibir, dalam bahasa jawa kromo kasar. Biasanya digunakan untuk makian). Baik.
Silakan saja anda yang setuju dengan kalimat itu. Tapi paling tidak, itu hanya
nada sumbang yang sebentar lagi akan tumbang. Nada sumir lagi nyinyir yang
sebentar lagi akan tersingkir.
Kualitas kata, kalimat atau orasi itu
tidak hanya terletak pada susunan kata saja. Ada unsur penting lainnya, siapa
yang bicara. Saya bukan penggemar berat pak Mario. Suka dalam taraf wajar saja.
Kagum? Dulu pernah, sekarang? Biasa saja.
Liburan kemarin, tanggal 25-26. Saya
mendapatkan kebahagiaan. Besar dan kecilnya kebahagiaan itu saya tak bisa
mengukurnya dengan angka pasti. Saya diajak seorang teman, jalan-jalan ke
gunung Gede. Hehe... ada kabar yang menyengat nalar saya, “Gretongan alias
gratis.”
Well, selama ini saya biasanya jalan
ke beberapa daerah dengan menggunakan fasilitas umum. Kadang naik kereta atau
bis. Yang pasti saya adalah orang yang jumlah kekayaannya bisa anda lihat dari
pakaian yang saya kenakan. Dalam kata yang sederhana; Gembel. (Ya, Tuhan ini
cuma guyonan saja, tak bermaksud sama sekali meniadakan nikmatMu).
Seperti pribahasa jawa, “kadyo kere
munggah bale.” Seperti kere naik ambin/tempat tidur. Pulang pergi dari check
poin menuju source point menggunakan mobil pribadi. Sampai di Cibodas kami
mampir ke rumah Bu Yanti. Semoga tambah berkah ya Bu... :D (*. Pasang muka ngarep
diajak gratisan lagi). Kami berangkat dari Sunter jam 22:00, sampai di villa
jam 00:00. Ngobrol ngalor-ngidul. Kemudian tidur.
Banyak hal
menarik yang sebenarnya ingin saya tulis. Tapi saya lagi ingin egois. Ingin menyimpannya
sendiri dalam kepala saya. Paling tidak beberapa hal itu menjadi pelajaran
berharga bagi saya.
Saya memang
tak berharap banyak untuk sampai puncak. Itu sudah menjadi azzam awal ketika
saya menyatakan bersedia ikut dalam rombongan. Saya memilih menunggu di Kandang
Badak. Merapikan tenda. Menghangatkan badan sambil menggoreng chicken nugget. Sambil terus merenungi
diri. Membaca diri selama dalam perjalanan.
Dulu seorang
kawan saya mengajarkan saya tentang altruisme. Apa itu altruisme? Silakan cari
lewat kiai google. Saya salut dengan empat perempuan, yang tangguh-tangguh. “Biasanya”
dalam tanda kutip ya. Perempuan yang suka naik gunung itu seperti perempuan
dalam cerita film jagoan. “keberadaannya seringkali menyusahkan.” Itu kata
teman saya. Maksudnya begini. Dalam film-film laga. Ketika sang jagoan sedang
di atas angin, tiba-tiba muncul seorang musuh bebuyutan menyandra si cewek.
Wis... pokoknya yang begitu-begitu deh. Tapi, persepsi saya terjungkir balik
dengan empat perempuan yang saya sebutkan di atas. Meski njungkirnya ya nggak
180 derajat. Paling tidak persepsi saya tentang perempuan dalam film laga itu
sedikit saya kurangi kadarnya.
Saya Juga bangga satu bapak-bapak
yang dipanggil dengan “Ayah.” Meski badannya tergolong tambun. Usianya juga
sudah tak bisa dibilang muda lagi. Juga Bang Onay, sang driver yang cuma tidur
beberapa jam saja. Karena tugasnya mengemudi. I’m proud of you guys...
(Mudah-mudahan bener)
Dulu pertama kali saya naik gunung ya
ke gunung ini. Sempat ikut mengevakuasi tiga orang yang kena hipotermia di
bawah Alun-alun Surya Kencana. Jadi kalau kali ini saya nggak sampai puncak
juga nggak masalah. Sudah pernah. Jadi kalau ada yang masih berani bilang, “hidup
itu tak semudah cocote, Mario Teguh.” Tolong dikaji ulang, diresapi lagi. Saya
yakin bahwa Pak Mario dengan entengnya mengucapkan mantra-mantra saktinya itu,
pasti punya alasan kuat. Setidaknya pasti pernah melewati apa yang anda
gumamkan itu. “kepernahan” itulah yang membuat seseorang tidak “gumunan,” tidak
kagetan, tidak katrok terhadap sesuatu.
Kebahagiaan itu tak selamanya ketika
kita berhasil mendapatkan sesuatu. Tapi kebahagiaan itu bisa jadi karena kita
menjadi jalan bagi orang lain untuk meraih sesuatu itu.
Terima kasih Tuhan, terima kasih Bu
Yanti, Mbak Neneng, Mbak Yanti, Nufi, Bang Onay dan “Ayah.” Terima kasih atas
keramahan kalian. Terima kasih atas pelajaran hidup yang kalian berikan. Life
must go on. Kalau nggak cepet-cepet go berarti kalian oon. :D
Sebagai penutup, saya takjub dengan
sebuah tulisan yang sempat saya ingat. Sebuah quote yang tercetak rapi dalam
sebuah pameran lukisan di Taman Ismai Marzuki. Quote itu berbunyi:
“Sebuah negara tidak akan pernah kehilangan pemimpin apabila anak mudanya
sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan.” (sir henry dunant).
Sekian! Cusss...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar