Social Icons

Halaman

27 Mei 2013

Pada Suatu Masa



Banyak orang yang memilih menjadi rumput. Padahal dia adalah sebatang kayu jati yang menyaru diri. Kenyataannya dia memilih untuk meruduk dari pada mendongakkan dahi. Semua butuh proses. Dan itu tak cukup hitungan hari.

Beberapa orang bahkan dengan angkuhnya berani berkata, “Hidup itu tak semudah cocote, Mario Teguh.” (cocote= bibir, dalam bahasa jawa kromo kasar. Biasanya digunakan untuk makian). Baik. Silakan saja anda yang setuju dengan kalimat itu. Tapi paling tidak, itu hanya nada sumbang yang sebentar lagi akan tumbang. Nada sumir lagi nyinyir yang sebentar lagi akan tersingkir.

Kualitas kata, kalimat atau orasi itu tidak hanya terletak pada susunan kata saja. Ada unsur penting lainnya, siapa yang bicara. Saya bukan penggemar berat pak Mario. Suka dalam taraf wajar saja. Kagum? Dulu pernah, sekarang? Biasa saja.

Liburan kemarin, tanggal 25-26. Saya mendapatkan kebahagiaan. Besar dan kecilnya kebahagiaan itu saya tak bisa mengukurnya dengan angka pasti. Saya diajak seorang teman, jalan-jalan ke gunung Gede. Hehe... ada kabar yang menyengat nalar saya, “Gretongan alias gratis.”

Well, selama ini saya biasanya jalan ke beberapa daerah dengan menggunakan fasilitas umum. Kadang naik kereta atau bis. Yang pasti saya adalah orang yang jumlah kekayaannya bisa anda lihat dari pakaian yang saya kenakan. Dalam kata yang sederhana; Gembel. (Ya, Tuhan ini cuma guyonan saja, tak bermaksud sama sekali meniadakan nikmatMu).

Seperti pribahasa jawa, “kadyo kere munggah bale.” Seperti kere naik ambin/tempat tidur. Pulang pergi dari check poin menuju source point menggunakan mobil pribadi. Sampai di Cibodas kami mampir ke rumah Bu Yanti. Semoga tambah berkah ya Bu... :D (*. Pasang muka ngarep diajak gratisan lagi). Kami berangkat dari Sunter jam 22:00, sampai di villa jam 00:00. Ngobrol ngalor-ngidul. Kemudian tidur.

            Banyak hal menarik yang sebenarnya ingin saya tulis. Tapi saya lagi ingin egois. Ingin menyimpannya sendiri dalam kepala saya. Paling tidak beberapa hal itu menjadi pelajaran berharga bagi saya.

            Saya memang tak berharap banyak untuk sampai puncak. Itu sudah menjadi azzam awal ketika saya menyatakan bersedia ikut dalam rombongan. Saya memilih menunggu di Kandang Badak. Merapikan tenda. Menghangatkan badan sambil menggoreng chicken nugget. Sambil terus merenungi diri. Membaca diri selama dalam perjalanan.
           
            Dulu seorang kawan saya mengajarkan saya tentang altruisme. Apa itu altruisme? Silakan cari lewat kiai google. Saya salut dengan empat perempuan, yang tangguh-tangguh. “Biasanya” dalam tanda kutip ya. Perempuan yang suka naik gunung itu seperti perempuan dalam cerita film jagoan. “keberadaannya seringkali menyusahkan.” Itu kata teman saya. Maksudnya begini. Dalam film-film laga. Ketika sang jagoan sedang di atas angin, tiba-tiba muncul seorang musuh bebuyutan menyandra si cewek. Wis... pokoknya yang begitu-begitu deh. Tapi, persepsi saya terjungkir balik dengan empat perempuan yang saya sebutkan di atas. Meski njungkirnya ya nggak 180 derajat. Paling tidak persepsi saya tentang perempuan dalam film laga itu sedikit saya kurangi kadarnya.

Saya Juga bangga satu bapak-bapak yang dipanggil dengan “Ayah.” Meski badannya tergolong tambun. Usianya juga sudah tak bisa dibilang muda lagi. Juga Bang Onay, sang driver yang cuma tidur beberapa jam saja. Karena tugasnya mengemudi. I’m proud of you guys... (Mudah-mudahan bener)

Dulu pertama kali saya naik gunung ya ke gunung ini. Sempat ikut mengevakuasi tiga orang yang kena hipotermia di bawah Alun-alun Surya Kencana. Jadi kalau kali ini saya nggak sampai puncak juga nggak masalah. Sudah pernah. Jadi kalau ada yang masih berani bilang, “hidup itu tak semudah cocote, Mario Teguh.” Tolong dikaji ulang, diresapi lagi. Saya yakin bahwa Pak Mario dengan entengnya mengucapkan mantra-mantra saktinya itu, pasti punya alasan kuat. Setidaknya pasti pernah melewati apa yang anda gumamkan itu. “kepernahan” itulah yang membuat seseorang tidak “gumunan,” tidak kagetan, tidak katrok terhadap sesuatu.

Kebahagiaan itu tak selamanya ketika kita berhasil mendapatkan sesuatu. Tapi kebahagiaan itu bisa jadi karena kita menjadi jalan bagi orang lain untuk meraih sesuatu itu.

Terima kasih Tuhan, terima kasih Bu Yanti, Mbak Neneng, Mbak Yanti, Nufi, Bang Onay dan “Ayah.” Terima kasih atas keramahan kalian. Terima kasih atas pelajaran hidup yang kalian berikan. Life must go on. Kalau nggak cepet-cepet go berarti kalian oon. :D

Sebagai penutup, saya takjub dengan sebuah tulisan yang sempat saya ingat. Sebuah quote yang tercetak rapi dalam sebuah pameran lukisan di Taman Ismai Marzuki. Quote itu berbunyi:

“Sebuah negara tidak akan pernah kehilangan pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan.” (sir henry dunant).

Sekian! Cusss...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates