Kemarau adalah hatiku yang merindukan
hujan. Wajah-wajah sayu dengan mulut kering. Mata-mata lelah menantikan hari
perhitungan amal. Satu persatu mayat-mayat berdiri, duduk, dan berdiri kembali.
Lama mereka menungu. Kapan kiranya Tuhan akan memulai perhitungan amal.
Sebagian telanjang. Sebagian compang-camping.
Ada juga yang berpakaian rapi, layaknya ketika mereka mau menghadiri kondangan
sang mantan.
“Ahmad Baihaqi, Anwar Sanusi,
Syaifullah, Zaenuri.” Satu persatu nama-nama yang berbau timur
tengah, sedikit ke arab-araban dipanggil.
“Kalian semua yang namanya memakai
nama Arab. Dijamin masuk surga.”
“Hore...!”
Teriakan keras. Bahagia. Plong. Dan seketika
wajahku pasi. Kenapa dulu Ayahku tak pernah menamaiku dengan nama arab. Semisal
Ibnu Syaithon atau Abu Lahab. Itu kan nama arab juga.
Sepertiga kelompok itu telah
tersisih. Aku merapal do’a-do’a yang dulu ketika masih hidup pun tak pernah
kuucapkan. Tuhan kusebut dalam detik-detik menegangkan itu.
Kemudian, beberapa malaikat bersayap
memisahkan orang-orang yang berpakaian arab. Gamis, jubah, orang-orang
berjanggut, termasuk mereka yang selama di bumi menjadi perpanjangan dari
tentara-tentara Tuhan.
“Yang bagian ini juga masuk
Surga....!”
Lemas. Kakiku tak kuat menyangga
badan. Kenapa dulu semasa hidup aku tak pernah sekalipun melekatkan atribut
agama itu pada badanku. Aku juga masih bertanya-tanya, kenapa tata cara
pemanggilannya terasa ganjil?
Lalu dikumpulkanlah sepertiga
terakhir. Kami diarak menuju ruangan di mana kedua kelompok di atas menyebrangi
jembatan yang seperti diceritakan dalam kitab-kitab suci dulu. Seumpama rambut
yang dibelah menjadi tujuh.
Ketika rombongan itu berada
ditengah-tengah jembatan. Tiba-tiba datang malaikat barbadan besar. Putih
bersih. Cemerlang. Membawa lembaran baru dari Tuhan.
“Kalian yang namanya arab. Layak
masuk Surga....!”
“Tapi nama kalian saja yang pantas
masuk Surga. Sedang badan kalian tak pantas menyandang nama itu.”
“Hore....!”
Aku spontan meneriakkan teriakan itu
entah karena senang mereka masuk neraka. Atau setidaknya ada yang menemaniku dalam situasi terombang-ambing tak jelas perkaranya.
“Yang selama ini mengaku paling benar
dan menyalakan kelompok lain. Tetap masuk Surga!”
“Yah...! Kok bisa begitu!” lantangku
keras.
Dibukakanlah pintu Surga. Taman-taman
yang indah. Sungai-sungai yang mengalir. Dan segala keindahan yang tak pernah
dibayangkan manusia selama ini. Tapi anehnya kenapa ada kotak-kotak transparan
seukuran lemari. Ukuran itu disesuaikan ukurannya dengan ukuran manusia. Rata-rata
panjangnya satu meter, lebar satu meter dan tinggi dua meter.
“Kalian, masuk surga tapi tidak bebas
di dalamnya!”
“Dulu, kalian menganggap Surga hanya
pantas untuk golongan kalian. Maka Tuhan tetap memenuhi janji kalian. Kalian
masuk Surga tapi cuma bisa melihat orang yang ada di Surga.”
“Hore....!” Teriakku lebih keras dari
teriakan pertama.
Kini giliran sepertiga terakhir.
“Agus Setiawan...”
“Iya, saya...!”
Semua orang berdiri. Sekali lagi
malaikat berteriak memanggil nama.
“Agus Setiawan...!”
“Ya, Saya...!”
Mulailah keribuatan terjadi. Karena ribuan
orang itu mempunyai nama yang sama. Agus Setiawan. Dan rupanya tak kalah
ribetnya pengurusan KTP di dunia. Ada yang mulai berantem satu sama lain. ada yang mencak-mencak marah. Ada yang usul kalau dipanggil dengan ciri-ciri fisiknya. ada yang usul supaya dipanggil nama ibunya. pokoknya semua usul ditampung. nanti baru dipikirkan penyelesaiannya.
Aku bertanya dalam hati.
“Ini sebenarnya surganya Tuhan atau
Surganya orang Indonesia?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar