Social Icons

Halaman

10 Mei 2013

Surganya Orang Indonesia



Kemarau adalah hatiku yang merindukan hujan. Wajah-wajah sayu dengan mulut kering. Mata-mata lelah menantikan hari perhitungan amal. Satu persatu mayat-mayat berdiri, duduk, dan berdiri kembali. Lama mereka menungu. Kapan kiranya Tuhan akan memulai perhitungan amal.

Sebagian telanjang. Sebagian compang-camping. Ada juga yang berpakaian rapi, layaknya ketika mereka mau menghadiri kondangan sang mantan. 

“Ahmad Baihaqi, Anwar Sanusi, Syaifullah, Zaenuri.” Satu persatu nama-nama yang berbau timur tengah, sedikit ke arab-araban dipanggil.

“Kalian semua yang namanya memakai nama Arab. Dijamin masuk surga.”
“Hore...!” 

Teriakan keras. Bahagia. Plong. Dan seketika wajahku pasi. Kenapa dulu Ayahku tak pernah menamaiku dengan nama arab. Semisal Ibnu Syaithon atau Abu Lahab. Itu kan nama arab juga.

Sepertiga kelompok itu telah tersisih. Aku merapal do’a-do’a yang dulu ketika masih hidup pun tak pernah kuucapkan. Tuhan kusebut dalam detik-detik menegangkan itu.

Kemudian, beberapa malaikat bersayap memisahkan orang-orang yang berpakaian arab. Gamis, jubah, orang-orang berjanggut, termasuk mereka yang selama di bumi menjadi perpanjangan dari tentara-tentara Tuhan.

“Yang bagian ini juga masuk Surga....!”

Lemas. Kakiku tak kuat menyangga badan. Kenapa dulu semasa hidup aku tak pernah sekalipun melekatkan atribut agama itu pada badanku. Aku juga masih bertanya-tanya, kenapa tata cara pemanggilannya terasa ganjil?

Lalu dikumpulkanlah sepertiga terakhir. Kami diarak menuju ruangan di mana kedua kelompok di atas menyebrangi jembatan yang seperti diceritakan dalam kitab-kitab suci dulu. Seumpama rambut yang dibelah menjadi tujuh.

Ketika rombongan itu berada ditengah-tengah jembatan. Tiba-tiba datang malaikat barbadan besar. Putih bersih. Cemerlang. Membawa lembaran baru dari Tuhan.

“Kalian yang namanya arab. Layak masuk Surga....!”
“Tapi nama kalian saja yang pantas masuk Surga. Sedang badan kalian tak pantas menyandang nama itu.”
“Hore....!” 

Aku spontan meneriakkan teriakan itu entah karena senang mereka masuk neraka. Atau setidaknya ada yang menemaniku dalam situasi terombang-ambing tak jelas perkaranya.

“Yang selama ini mengaku paling benar dan menyalakan kelompok lain. Tetap masuk Surga!”
“Yah...! Kok bisa begitu!” lantangku keras.

Dibukakanlah pintu Surga. Taman-taman yang indah. Sungai-sungai yang mengalir. Dan segala keindahan yang tak pernah dibayangkan manusia selama ini. Tapi anehnya kenapa ada kotak-kotak transparan seukuran lemari. Ukuran itu disesuaikan ukurannya dengan ukuran manusia. Rata-rata panjangnya satu meter, lebar satu meter dan tinggi dua meter.

“Kalian, masuk surga tapi tidak bebas di dalamnya!”
“Dulu, kalian menganggap Surga hanya pantas untuk golongan kalian. Maka Tuhan tetap memenuhi janji kalian. Kalian masuk Surga tapi cuma bisa melihat orang yang ada di Surga.”
“Hore....!” Teriakku lebih keras dari teriakan pertama.

Kini giliran sepertiga terakhir.

“Agus Setiawan...”
“Iya, saya...!”

Semua orang berdiri. Sekali lagi malaikat berteriak memanggil nama. 

“Agus Setiawan...!”
“Ya, Saya...!”

Mulailah keribuatan terjadi. Karena ribuan orang itu mempunyai nama yang sama. Agus Setiawan. Dan rupanya tak kalah ribetnya pengurusan KTP di dunia. Ada yang mulai berantem satu sama lain. ada yang mencak-mencak marah. Ada yang usul kalau dipanggil dengan ciri-ciri fisiknya. ada yang usul supaya dipanggil nama ibunya. pokoknya semua usul ditampung. nanti baru dipikirkan penyelesaiannya.

 Aku bertanya dalam hati.

“Ini sebenarnya surganya Tuhan atau Surganya orang Indonesia?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates