Negara
saya adalah Jawa, pulau saya adalah Indonesia. Agama saya adalah partai dan
Islam adalah madzhab saya. Begitu paradigma yang ada. Jungkir balik antara
fakta dan fiktif. Antara imajinasi dan kenyataan. Kita rela ngotot untuk hal
yang kita sendiri masih berprasangka di dalamnya. Pun jika kita benar-benar
tahu bahwa yang kita bela ternyata salah, “pokoknya” terlanjur cinta, mau
bilang apa?
Kepala
kita jadikan kaki. Sendal kita cium dan kita letakkan di atas kepala. Padahal
kita tahu bahwa sendal tadi habis kita pakai dan kita tak sengaja menginjak “telek
lencung,” tahi ayam.
“Itu
kan oknum.”
Ya,
kita seperti seorang udik yang digambarkan Rumi. Kita bangga dengan seekor naga
yang membeku dalam balok es. Kita bawa naga itu ke tengah kota. Kita elu-elukan.
Kita pamerkan ke segala penjuru. Bahwa kita mampu menaklukkan naga itu.
Nyatanya setelah sampai ditengah kota, batu es itu mulai mencair. Naga
terbangun, menggeliat, dan mengamuk, baru setelah semua terlambat, Kita baru
tersadar.
“Pokoknya
partai saya paling bersih.”
“Itu
politik konspirasi.”
“Mbel
gedes.”
“Kentut
bau.”
Kita
ini kan orang kecil. Selama ini kita cuma jadi alat. Cuma diperalat. Orang yang
kita agung-agungkan, yang kita coblos itu, adalah orang yang pertama kali
mengusir kita dari jalan raya. Ketika barikade polisi bermotor gede datang
membunyikan sirinenya. Yang kecil minggir. Pejabat itu kan manusia yang nggak
pernah akrab sama macet. Kalau pun mereka bicara soal kemacetan. Barangkali itu
mereka yang dulu, sebelum jadi wakil rakyat.
Demonstrasi
itu kan artinya unjuk rasa. Sedang demokrasi itu artinya unjuk kuasa. Kalau pun
sebentar lagi didengungkan pesta rakyat. Lha selama ini kita kan cuma dapat
resaknya. Dapat sampahnya. Kita cuma dapat bagian bersih-bersihnya. Kue dan penganan-penganan di
atas meja telah ludes di
bagi-bagi. Mau apa? Masih mau “ngising” harapan?
Tempatnya
orang-orang kecil itu kan nyelip. Kadang disempil-sempilkan di dalam ketek. Kadang
diinjek-injek seperti sendal jepit. Kapan kita belajar? Kalau dari tahun ke
tahun lakonnya sama. Manusianya beda. Tapi tingkah polahnya sama saja. Lha
yo... mending mari kita beres-beres pekarangan. Nyangkul di sawah, atau
menyiangi rumput di halaman depan.
Dunia
kita bukan dunia di dalam layar kaca. Dunia kita bukan dunia manipulatif di
dalam kamera. Dunia kita lebih luas dari itu semua. Dus!
Keren temenan tulisane pak yai. Kalau udah kadung seneng itu memang hatinya bisa jadi luas seluas jagat, pak yai. Mau salahnya segede hu hah, segede ha huh, permafaannya luar biasa. Bilangya "itu kan oknum!". "ah, itu kan cuma khilaf, besok-besok ngga bakalan lagi". Dan banyak lagi kalimat sejenisnya. Tapi kalau udah sebel, wis gething, mbok salahnya cuma sak upil to, bakalan dihajar entek-entekan. Tiada kata maaf. Seolah-olah salahnya itu tidak bisa dimaafkan dengan cara apapun.
BalasHapusWealah, saya ini komen apa to sebenarnya. Sepurane nggih pak yai.
Hehe... Makasih sudah mampir, Mas :D
BalasHapus