Social Icons

Halaman

19 Jun 2014

Risalah Untuk Burung Penghisap Madu.



Untuk perempuan yang dulu pernah mencoba menemaniku di kota asing, dan hidup dalam keterasingan. Jika surat ini telah sampai ke tanganmu, barangkali purnama tengah bersinar di kotamu. Para petani telah sibuk dan bersiap-siap memanen padi di ladang-ladang mereka, sedang anak-anak kecil berlarian bermain di pematang sawah, menangkapi belalang yang terusik dari lelap tidur siangnya.

Apakah mawar juga sedang bermekaran di kebun penjual bunga? atau melati tak mau kalah mencoba beradu cantik dengan menebarkan aroma wangi tubuhnya. Barangkali semua keindahan itu tak berarti bagimu, karena lentera suci telah menyala dari dalam hatimu yang sunyi.

Dari kota asing di pesisir laut, yang terlalu bising dengan raungan knalpot dan aroma deodoran yang bercampur tangis. Aku kabarkan bahwa keadaanku sama baiknya saat terakhir kali kau bertemu denganku, tidak kurang sama sekali. Mungkin ada sebgian episode yang terlewat selama kita bersama. Ada syair yang sumbang dan memekakkan telinga, karena rima dan jumlah baitnya tidak serasi. Tapi bagiku itu adalah diriku yang sebenarnya. Aku bukan lelaki yang terbiasa bicara dalam bahasa sutra, dalam indahnya syair anggur dan cahaya purnama? Aku adalah lelaki batu yang bicara tentang kerasnya garis tangan takdir dan kejamnya cakar- cakar penguasa. 

Aku adalah lelaki dari kaum sudra yang hanya bisa bicara tentang lapar dan dahaga. Aku juga bukan dari golongan orang-orang suci yang bersemayam di balik langit dan bersembunyi di balik indahnya firman Tuhan, aku adalah lelaki batu yang berbicara dalam sajak ketidakberdayaan. Aku akan ikut tertawa jika ternyata lentera yang kau pilih lebih bercahaya, yang sinarnya melebihi sinar matahari senja, teduh dan menentramkan jiwa. Aku berharap pangeran yang kau pilih itu berbicara tentang indahnya syair serta manisnya cerita. aku berharap dialah lelaki yang akan membacakan dongeng tentang negeri di mana Cinderela hidup, atau ia akan membicarakan kisah tentang putri tidur dan tujuh kurcacinya.

Tidak seperti aku... Aku adalah lelaki dengan bahasa api, kalimat-kalimatku akan membakar habis syair-syair yang melupakan kita tentang keadaan orang-orang yang menangis di sekitar kita. Bagiku syair yang mendayu seperti anggur yang memabukkan itu harus aku musnahkan, karena ia seperti candu, atau seperti bidadari di tengah-tengah kaum marginal, mereka butuh beras bukan nyanyian? maafkan aku jika ternyata aku telah mengecewakanmu, aku bukan burung Simurgh dengan keindahan bulu-bulunya. Aku bukan Sulaiman dengan gemerlap intan berliannya. Aku bukan gibran dengan manis lisannya. Aku bukan elang yang siap mengangkat engkau dengan kepakan sayapnya yang tinggi menjulang ke angkasa. Aku hanya lelaki batu yang bicara tentang lagu kesedihan.

Semoga ia adalah imam yang akan membimbingmu ke Nirwana. Semoga ia adalah mursyid sejati yang akan menuntun sang salik ke jalan cahaya. Semoga ia berhati mulia seperti Junayd al-baghdady, atau sutra lembut dari kedalaman hati maulana Rumi. Sampaikan salam sejahteraku padanya. Sampaikan padanya, salam dariku, lelaki batu. Aku berharap ia akan menjadi ayah yang baik dari anak-anakmu. Jagalah ia seperti Fatimah tatkala membasuh luka-luka suaminya yang pulang dari medan laga. Aku berpesan padamu jangan pernah membuat luka untuk kedua kalinya.

Jika untuk mendapatkanmu adalah sebuah kompetisi? Ternyata aku telah lupa kapan genderang permulaan itu ditabuh? atau aku memang peserta yang tidak diharapkan untuk menang. Aku seperti musa yang pergi meninggalkan bani Israel dan menitipkan pada Harun, sementara Musa pergi menemui Tuhannya, dan ternyata ketika masa yang sebentar itu berlalu Musa telah kehilangan kaumnya. Kaumnya lebih cinta kepada Samiry dengan sapi betina yang bisa berbicara. Jangan sekalipun  kau tanya padaku tentang rasa yang ada dalam hati dan kepalaku? Perasaaan yang sama aku rasai seperti sang Nabi tatkala dikhiananti para sahabatnya di lembah Uhud; aku kecewa.

Jika ia kelak menjadi suami bagimu dan ayah bagi anak-anakmu, jagalah ia dari kejahatan dan liciknya mulutmu. Kebenaran yang nampak menyakitkan itu lebih baik dari pada ilusi tentang indahnya kematian. bukankah kebohongan itu seperti racun dalam darah. Seperti ular dalam semak belukar. Jika tidak kau kendalikan ia akan menjadi bencana bagi hidupmu sendiri.

Bukankah kejahatan itu berawal dari kebohongan dan mencuri? Jika kau berbohong kau telah mencuri kebenaran dari orang yang kau bohongi. Jika kau membunuh berarti kau telah mencuri nyawa seseorang. Jika kau selingkuh kau telah mencuri hak suami dan mencuri kebenaran dari suamimu kelak.

Aku tak ingin kau mengingatku meskipun dalam imaji dan bayang-bayang. Aku tak ingin sekalipun menjadi api pertengkaran jika kelak kalian bermusuhan. Buanglah jauh-jauh aku dan segala rupa tentang diriku dari dalam hati dan kepalamu. Anggaplah aku mati. Anggaplah aku telah musnah terbakar api. Anggaplah aku tak pernah ada. Anggaplah aku tak pernah terlahir di dunia. Aku bukanlah lelaki yang pantas terukir dan menjadi bagian dari sejarah. Aku berharap setelah membaca surat ini kau tertidur lelap dan keesokan harinya kau telah lupa tentang semua kisah indah yang pernah kita ukir dalam rencana dan rancangan masa depan kita dulu.

Hah... Masa depan? Aku benci bicara tentang masa depan itu sendiri. Ingatlah diriku sebatas lelaki batu yang hanya bicara dalam bahasa sarkasme. Yang tak bicara dalam bahasa aroma mawar. Tapi ingatlah satu hal, bahwa batu itu akan tetap menyimpan kata yang terukir di atasnya. Seperti prasasti yang menyimpan kebenaran ribuan tahun yang silam. Tidakkah kau lihat kini siapa yang berhasil bicara tentang arti kata; setia.

Simpan air mata itu untuknya. Untukku tak pantas kau jatuhkan airmata yang berharga itu. Aku tak pantas untuk kau tangisi barangkali pagar jeruji yang kubangun terlalu tinggi, sehingga menghalangi kepakan sayapmu, sedang kau adalah pemuja kebebasan itu sendiri. Kini terbanglah sebebas yang kau mau. Bernyanyilah seriang kau bisa. Hiduplah di taman Lumbini, di antara bunga teratai yang bermekaran indah.

Biarkan aku berjalan menuju tenggelamnya sang mentari, aku akan berjalan bersama para pendeta yang berjalan ke barat, biarkan aku berjalan menyusuri kabut malam yang mulai turun di lembah  Mandalawangi. Satu pesan terakhir dariku untukmu; demi aku, cintailah dirinya."



*. Tulisan ini saya tulis untuk seseorang sahabat yang saat itu dikecewakan seorang perempuan. Bulan lalu saya ditag oleh istri lelaki tersebut. Dan saya kaget, saya sadar, ternyata saya itu kejam sekali. Entah bagaimana perasaan perempuan itu, jika dia sempat membaca tulisan ini.
 
 
Blogger Templates