Untuk perempuan yang dulu
pernah mencoba menemaniku di kota asing, dan hidup dalam keterasingan. Jika
surat ini telah sampai ke tanganmu, barangkali purnama tengah bersinar di kotamu.
Para petani telah sibuk dan bersiap-siap memanen padi di ladang-ladang mereka,
sedang anak-anak kecil berlarian bermain di pematang sawah, menangkapi belalang
yang terusik dari lelap tidur siangnya.
Apakah mawar juga sedang
bermekaran di kebun penjual bunga? atau melati tak mau kalah mencoba beradu
cantik dengan menebarkan aroma wangi tubuhnya. Barangkali semua keindahan itu
tak berarti bagimu, karena lentera suci telah menyala dari dalam hatimu yang
sunyi.
Dari kota asing di pesisir
laut, yang terlalu bising dengan raungan knalpot dan aroma deodoran yang
bercampur tangis. Aku kabarkan bahwa keadaanku sama baiknya saat terakhir kali
kau bertemu denganku, tidak kurang sama sekali. Mungkin ada sebgian episode yang
terlewat selama kita bersama. Ada syair yang sumbang dan memekakkan telinga,
karena rima dan jumlah baitnya tidak serasi. Tapi bagiku itu adalah diriku yang
sebenarnya. Aku bukan lelaki yang terbiasa bicara dalam bahasa sutra, dalam
indahnya syair anggur dan cahaya purnama? Aku adalah lelaki batu yang bicara
tentang kerasnya garis tangan takdir dan kejamnya cakar- cakar penguasa.
Aku adalah lelaki dari kaum
sudra yang hanya bisa bicara tentang lapar dan dahaga. Aku juga bukan dari
golongan orang-orang suci yang bersemayam di balik langit dan bersembunyi di
balik indahnya firman Tuhan, aku adalah lelaki batu yang berbicara dalam sajak
ketidakberdayaan. Aku akan ikut tertawa jika ternyata lentera yang kau pilih
lebih bercahaya, yang sinarnya melebihi sinar matahari senja, teduh dan
menentramkan jiwa. Aku berharap pangeran yang kau pilih itu berbicara tentang
indahnya syair serta manisnya cerita. aku berharap dialah lelaki yang akan
membacakan dongeng tentang negeri di mana Cinderela hidup, atau ia akan
membicarakan kisah tentang putri tidur dan tujuh kurcacinya.
Tidak seperti aku... Aku
adalah lelaki dengan bahasa api, kalimat-kalimatku akan membakar habis
syair-syair yang melupakan kita tentang keadaan orang-orang yang menangis di
sekitar kita. Bagiku syair yang mendayu seperti anggur yang memabukkan itu
harus aku musnahkan, karena ia seperti candu, atau seperti bidadari di tengah-tengah
kaum marginal, mereka butuh beras bukan nyanyian? maafkan aku jika ternyata aku
telah mengecewakanmu, aku bukan burung Simurgh dengan keindahan bulu-bulunya. Aku
bukan Sulaiman dengan gemerlap intan berliannya. Aku bukan gibran dengan manis
lisannya. Aku bukan elang yang siap mengangkat engkau dengan kepakan sayapnya
yang tinggi menjulang ke angkasa. Aku hanya lelaki batu yang bicara tentang
lagu kesedihan.
Semoga ia adalah imam yang
akan membimbingmu ke Nirwana. Semoga ia adalah mursyid sejati yang akan
menuntun sang salik ke jalan cahaya.
Semoga ia berhati mulia seperti Junayd al-baghdady, atau sutra lembut dari
kedalaman hati maulana Rumi. Sampaikan salam sejahteraku padanya. Sampaikan padanya,
salam dariku, lelaki batu. Aku berharap ia akan menjadi ayah yang baik dari
anak-anakmu. Jagalah ia seperti Fatimah tatkala membasuh luka-luka suaminya
yang pulang dari medan laga. Aku berpesan padamu jangan pernah membuat luka
untuk kedua kalinya.
Jika untuk mendapatkanmu
adalah sebuah kompetisi? Ternyata aku telah lupa kapan genderang permulaan itu
ditabuh? atau aku memang peserta yang tidak diharapkan untuk menang. Aku
seperti musa yang pergi meninggalkan bani Israel dan menitipkan pada Harun,
sementara Musa pergi menemui Tuhannya, dan ternyata ketika masa yang sebentar
itu berlalu Musa telah kehilangan kaumnya. Kaumnya lebih cinta kepada Samiry
dengan sapi betina yang bisa berbicara. Jangan sekalipun kau tanya padaku
tentang rasa yang ada dalam hati dan kepalaku? Perasaaan yang sama aku rasai
seperti sang Nabi tatkala dikhiananti para sahabatnya di lembah Uhud; aku kecewa.
Jika ia kelak menjadi suami
bagimu dan ayah bagi anak-anakmu, jagalah ia dari kejahatan dan liciknya
mulutmu. Kebenaran yang nampak menyakitkan itu lebih baik dari pada ilusi
tentang indahnya kematian. bukankah kebohongan itu seperti racun dalam darah.
Seperti ular dalam semak belukar. Jika tidak kau kendalikan ia akan menjadi bencana
bagi hidupmu sendiri.
Bukankah kejahatan itu
berawal dari kebohongan dan mencuri? Jika kau berbohong kau telah mencuri
kebenaran dari orang yang kau bohongi. Jika kau membunuh berarti kau telah mencuri
nyawa seseorang. Jika kau selingkuh kau telah mencuri hak suami dan mencuri
kebenaran dari suamimu kelak.
Aku tak ingin kau
mengingatku meskipun dalam imaji dan bayang-bayang. Aku tak ingin sekalipun
menjadi api pertengkaran jika kelak kalian bermusuhan. Buanglah jauh-jauh aku
dan segala rupa tentang diriku dari dalam hati dan kepalamu. Anggaplah aku
mati. Anggaplah aku telah musnah terbakar api. Anggaplah aku tak pernah ada. Anggaplah
aku tak pernah terlahir di dunia. Aku bukanlah lelaki yang pantas terukir dan
menjadi bagian dari sejarah. Aku berharap setelah membaca surat ini kau
tertidur lelap dan keesokan harinya kau telah lupa tentang semua kisah indah
yang pernah kita ukir dalam rencana dan rancangan masa depan kita dulu.
Hah...
Masa depan? Aku benci bicara tentang masa depan itu sendiri. Ingatlah diriku
sebatas lelaki batu yang hanya bicara dalam bahasa sarkasme. Yang tak bicara
dalam bahasa aroma mawar. Tapi ingatlah satu hal, bahwa batu itu akan tetap
menyimpan kata yang terukir di atasnya. Seperti prasasti yang menyimpan kebenaran
ribuan tahun yang silam. Tidakkah kau lihat kini siapa yang berhasil bicara
tentang arti kata; setia.
Simpan air mata itu
untuknya. Untukku tak pantas kau jatuhkan airmata yang berharga itu. Aku tak
pantas untuk kau tangisi barangkali pagar jeruji yang kubangun terlalu tinggi,
sehingga menghalangi kepakan sayapmu, sedang kau adalah pemuja kebebasan itu
sendiri. Kini terbanglah sebebas yang kau mau. Bernyanyilah seriang kau bisa. Hiduplah
di taman Lumbini, di antara bunga teratai yang bermekaran indah.
Biarkan aku berjalan menuju
tenggelamnya sang mentari, aku akan berjalan bersama para pendeta yang berjalan
ke barat, biarkan aku berjalan menyusuri kabut malam yang mulai turun di
lembah Mandalawangi. Satu pesan terakhir dariku untukmu; demi aku, cintailah dirinya."
*. Tulisan ini saya tulis untuk seseorang sahabat yang saat itu dikecewakan seorang perempuan. Bulan lalu saya ditag oleh istri lelaki tersebut. Dan saya kaget, saya sadar, ternyata saya itu kejam sekali. Entah bagaimana perasaan perempuan itu, jika dia sempat membaca tulisan ini.