Social Icons

Halaman

25 Jun 2014

Mengintip Dari Lubang Yang Salah.



Pemilu tahun ini membawa nuansa yang beda. Ada sengkarut masalah yang menjadikannya begitu indah untuk dicermati. Betapa tidak. Jika pemilu-pemilu sebelumnya satu partai bisa mendukung satu calon presiden, untuk pemilu tahun ini satu partai politik bisa mendukung calon A sedang beberapa anggotanya mendukung calon B.

Ada kesan bahwa sesungguhnya pertarungan pemilihan presiden tahun ini seperti hitam vs putih, sipil vs militer, kaum proletar vs bangsawan, masih banyak idiom yang sebenarnya lebih ekstrem semisal “benar” vs “salah,” “muslim” vs “kafir.” Cuma yang menjadi sedikit terlihat lucu bagi saya adalah kita sebenarnya tidak sependapat dalam idiom itu semua. Kita ini masih sering terjebak dalam definisi yang berbeda, sehingga acapkali kita bertengkar untuk sesuatu yang sebenarnya kita belum saling faham akan sesuatu itu sendiri.

Satu hal yang bisa saya ambil kesimpulan, bahwa sebenarnya bangsa ini rindu akan seorang figur pemimpin yang ideal. Dan itu tak bisa dipungkiri lagi. Bagi pendukung Prabowo-Hatta, tak ayal maka untuk membangkitkan negara besar yang sedang tidur ini butuh seorang pemimpin yang kuat, visioner, tegas. Sedang bagi pendukung Jokowi-JK, negeri ini butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat, yang sederhana, yang mewakili rakyat kebanyakan.

Perlu dicatat, betapapun rindunya kita pada figur presiden yang ideal, harus diterima dengan akal sehat, bahwa siapapun nanti yang terpilih, dia adalah manusia biasa, bukan pesulap atau nabi. Jadi jangan berharap lebih. Bahwa presiden yang terpilih nanti akan mampu menyelesaikan semua persoalan negara ini. Memilih presiden itu saya umpamakan seperti seorang bujangan yang akhirnya memilih untuk mengakhiri masa lajangnya. Ketika telah menempuh proses mencari pasangan yang pas, mempersiapkan tanggal pernikahan serta mencari ubo rampe-nya, maka tanggal hari H pernikahan itu hanyalah awal dari perjalanan panjang sebuah pernikahan. Siapapun nanti yang akhirnya menjadi pemenang pada tanggal 9 Juli nanti, sebagai rakyat kita harus tetap tunduk kepada pemenang tersebut. Ikut berkeringat jika negara nduwe gawe, jangan cuma ikut berteriak ketika menang, memaki-maki jika kalah.

Hari ini muncul di mana-mana gambar Soekarno, presiden pertama kita. Sosok yang dianggap mampu menjadi simbol kebangkitan melawan penjajah Belanda maupun Jepang. Lalu muncul gambar Soeharto di mana-mana plus dengan slogan, piye kabare? Enak jamanku tho?. Tak lupa kembali sosok Gus Dur yang diterima semua kalangan, dibawa dan diseret-seret dari alun-alun satu ke alun-alun yang lain demi merebut massa sebanyak-banyaknya.

Bangsa ini memang bangsa pelupa. Apa bedanya bangsa ini dengan bani Israel. Berapa banyak nabi dan orang suci yang Tuhan kirimkan. Namun, ketika kita sudah mendapatkan pemimpin itu kita ingkari satu persatu. Di luar kebanggaan atas kharismatik para presiden pendahulu kita, coba tengok sedikit ke belakang. Soekarno harus tumbang ketika terjadi pergolakan yang konon terindikasi dengan partai komunis, Soeharto harus legowo untuk tidak “patheken” jika tidak jadi presiden untuk ke sekian kali. Habibie, Gus Dur harus merelakan melepas tanggung jawab karena mengutamakan keutuhan bangsa ini. 

Di kedua belah kubu, kekuatan militer nampak terlihat jelas. Militer yang seharusnya netral secara teori, kenyataannya tetap ikut campur dalam urusan pilpres. Statemen terbuka mantan petinggi saling tinju-meninju. Membuka aib lama seolah sebuah prestasi terbaru. Lalu ke mana saja kemarin-kemarin? Kenapa tidak diurus dahulu jika salah satu capres dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM.

Kalau Jokowi jadi presiden maka Jakarta akan dipimpin oleh Ahok yang nota bene seorang keturunan Tioghoa. Saya kira lucu. Jika kebangsaan kita hari ini dinilai dari kacamata ras. Ada “paranoid” yang akut jika ternyata pihak orang Islam mayoritas dipimpin oleh orang yang minoritas. Hanya menilik sedikit, hari ini pendangan tentang baik dan buruk sudah sebegitu kabur. Lagi-lagi kita terjebak dalam definisi. Ada opini publik yang mengatakan begini. “Yang penting Islam, tak peduli apakah nanti dia korupsi atau tidak, itu urusan belakangan.” 

Kita sudah disuguhi banyak informasi sampah. Mau tidak mau sebagai pemilih kita mesti sangat hati-hati dan bijak dalam menyikapi kabar yang kita terima. Segala bentuk kampanye hitam anggap saja sebagai dialektika demokrasi. Sama seperti kemarahan seorang ayah kepada anaknya. Sejatinya marah adalah salah satu bentuk komunikasi hanya saja levelnya beberapa oktaf di atas nada dasar pada umumnya. Seberapa pesan itu sampai kepada penerima, semua tergantung kondisi kemarahan itu pas atau tidak.

Tuhan menawarkan banyak alternatif. Untuk hal yang “mudah” kenapa harus dipersulit. Jika anda benar-benar bingung harus milih siapa? Ada buku, koran, website, ada rekam jejak tiap capres di sana. Adanya kampanye hitam itu hanya bentuk pelintir memelintir informasi. Memotong sebagian untuk menyembunyikan sebagian informasi yang lain. Kalau masih bingung, tentu anda punya orang yang bisa anda percayai semisal teman dekat, guru, kiai atau siapa saja yang kapasitas nalar serta pendapatnya bisa anda percayai. Jika mentok. Anda bingung dengan pilihan itu semua, bagi yang beragama Islam silakan sholat Istikhoroh. Dan susunan pilihan ini bisa anda balik dari belakang.

Biarkanlah anjing menggonggong kafilah berlalu. Berapa miliar rupiah yang digelontorkan tiap capres? Itu nggak usah anda bahas. Dari sekian uang yang dikeluarkan ada para ulama yang akhirnya mendukung salah satu capres demi menghidupi dapur dan ribuan santrinya. “Lho, berarti mereka itu menjual agama dong.” Hehe... sudah kalau memang bukan kapasitas kita berkomentar, nggak usah berkomentar. Tentu para ulama, kiai lebih faham soal begini. (lagi pula, mengharapkan bantuan dari anda, paling cuma ngisi tromol Rp.1000; itu pun cuma pas Jum’atan).  Ada artis yang seperti burung beo. Asal diberi makan maka disuruh ngoceh apa saja bisa. Ada ratusan buzzer yang sengaja dibentuk untuk menghancurkan opini dan menggiring ke salah satu capres. Lalu anda ini kebagian apa? Kok sampai tega-teganya menghina satu dan memuji yang lain. Mbok ya sudah. Boleh mengumumkan saya cinta si anu. Saya dukung si ini. Tapi tetap dalam koridor bhinneka tunggal ika.

Mari kita belajar melihat dengan mata kepala, mata hati yang terbuka. mari kita melihat dari segala sudut pandang. Biar semua menjadi jelas. Jangan-jangan selama ini kita hanya mengintip dari lubang yang salah.   

Hadeh, kok saya jadi ngelantur macam begini. Sudah, perut saya lapar. Pilihan saya apa? Ya, itu urusan saya. Katanya pemilu itu LUBER. Langsung Umum Bebas dan Rahasia. Nanti jadi nggak asik lagi kalau diomongin. Kan rahasia. :P




 
 
Blogger Templates