Social Icons

Halaman

7 Jun 2014

Hypothermialova


Hypothermialova? Apakah kau pernah menemukan kata ini, di dalam kamus bahasa Indonesia atau kamus bahasa  mana pun? Tentu  dapat kupastikan bahwa kau tak akan menemukan secuil pun definisi tentangnya. Lalu kau bertambah penasaran ketika dorongan hormon rasa ingin tahumu semakin meninggi. Seketika kau ketikkan kata itu pada kotak mesin pencari. Sia-sia saja. Karena aku sudah terlebih dulu melakukan itu beberapa menit yang lalu. Ya, pada akhirnya Google pun tak mampu menjawab semuanya.

 “Biarkan aku sendiri! Aku sudah muak dengan kepalsuanmu selama ini.”

Botol air mineral itu melayang ke muka Adrian. Sayangnya beberapa detik sebelum mendarat, Adrian lebih dulu mengelak. Meski begitu, keadaan tak akan pernah berubah seperti kemarin lusa, atau hari-hari yang telah berlalu sebelumnya. Pertengkaran itu tak bisa dihindarkan lagi, sudah sejak awal pendakian, Mutia merasa kesal dengan tingkah Adrian. Barangkali sumbu yang selama ini diulur telah habis, dan ledakan emosi itu tak bisa dihindarkan lagi.

Mutia mengambil day pack-nya. Ada tipe perempuan ketika sedang marah, seringkali lebih berbahaya dari jenis binatang apa pun. Mutia satu di antara sekain itu. 

“Aku nggak mau kita bertemu di pendakian ini. Kau yang turun atau sebaliknya.”

Adrian hanya berdiri mematung. Sama seperti tujuh dari sepuluh lelaki yang ada di dalam survey yang membahas hubungan pasangan dan reaksi yang terjadi selama pertengkaran. Hanya sedikit dari lelaki yang mampu membaca pikiran perempuan yang seringkali lebih rumit dari teka-teki silang atau sudoku level super difficult. Lima dari tujuh yang diam itu memberikan alasan malu dengan orang-orang sekitar, sedang selebihnya memilih diam karena benar-benar tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

 Mutia berjalan sambil menyungut-nyungut. Tak henti bibirnya menggumamkan keluhan. Beberapa pendaki yang tidak melihat peristiwa sebelumnya, mungkin berpikir bahwa Mutia adalah sosok pendaki yang misterius. Karena gumamannya lebih terdengar seperti seorang yang sedang merapal mantra. Seandainya saja di sini ada sinyal mungkin saja luapan amarahnya sudah terkirim ke seantero dunia, lewat kicauan tweeter dan update facebooknya yang sudah terintegrasi.

#######

Haaa....!” Adrian berteriak sekeras mugkin. Tak peduli orang-orang di sekelilingnya. Berharap segala sesak yang ada di dalam hatinya ikut keluar. Adrian berdiri bersandar pada pohon pinus yang batangnya lembab diselimuti lumut dan tumbuhan paku. Kenapa susah sekali memahami Mutia. Segera dia bergegas membongkar tenda, dan memasukkan peralatan lainnya ke dalam ransel. Mutia telah memilih jalannya. Tentu Adrian akan memilih jalannya sendiri. Apa pun resiko yang akan di hadapinya? Itu urusan nanti.

#####

Belum sampai dua puluh menit Mutia berhenti, seteguk air dari Cigowong membasahi kerongkongan, mak nyess  masuk ke dalam dadanya yang bergemuruh. Api itu sedikit meredup. Suhu di kepalanya ikut turun. Kemudian Mutia memejamkan mata. Menghirup udara sejuk hutan tropis. Menikmati nyanyian dedaunan, suara kreteg ranting kering yang bergerak diliuk-liukan angin. Bagaimana bisa dia seemosional seperti yang terjadi beberapa menit yang lalu? Lagi, Mutia memejamkan mata lebih lama, sambil menghirup napas dalam-dalam. Beberapa burung ikut memamerkan suaranya. Hilang sudah pening kenangan macet, knalpot dan bising kota. 

Gerimis jatuh satu persatu. Mutia tersenyum. Mutia selalu menyukai hujan dalam bentuk apa pun. Baik hujan perawan berupa gerimis yang malu turun satu persatu atau hujan frontal yang jatuh memukul-mukul apa pun yang menghalanginya. Mutia lupa bahwa segala perlengkapannya ada di ransel Adrian. Sedang day pack yang dibawanya kosong. Hanya botol air mineral isi ulang dari mata air Cigowong.

Mutia segera bergegas berjalan menyusuri jalur yang semakin menyempit. Waktu berjalan bergiliran dari detik ke menit. Kontur tanah berubah, dari tanah merah menjadi tanah cadas. Tak ada pohon pinus dan rimbun pepohonan tropis lagi. Kini perbatasan vegetasi itu mulai nampak. Berganti rerumputan, semak-semak dan pepohonan cantigi di kanan dan kiri jalur. 

Harapan Mutia punah sudah. Sebelumnya Mutia berharap seperti pendakian sebelumnya. Hujan turun hanya numpang lewat. Tapi ini benar-benar lebat. Kuyup sudah seluruh badan Mutia. Tak ada jas hujan, apalagi tenda untuk berteduh. Dan  beberapa ratus meter ke depan adalah jalur yang tidak mungkin seorang pun mendirikan tenda. Harapan satu-satunya adalah menyegerakan langkah kakinya untuk segera sampai di goa Walet. Mutia berharap bisa berteduh di dalam goa, atau menumpang di salah satu tenda.

 Tanpa disadari, langkah Mutia mulai melambat. Semakin pelan. Bibirnya pucat, bergerak-gerak tak dapat dikendali. Jemari kaki dan tangannya mati rasa. Napasnya tersengal. Langit terlihat gelap. Sempurna gelap. Dan Mutia jatuh tak sadarkan diri.

Dengan tergopoh-gopoh lelaki itu mendekati Mutia. Bersama dua orang kawannya mereka berbagi tugas. Berganti beban. Segera digendongnya Mutia. Sebenarnya goa Walet tinggal satu tikungan lagi. Namun, sejak semalam, hanya sepotong roti tawar yang sempat masuk ke dalam perut Mutia. Sesaat sebelum pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang berlanjut sampai pagi.

####

Tak ada Jawa, Sunda, Cina. Tak ada Islam, Budha, Kristen. Tak ada pendukung Jokowi atau Prabowo. Sekat-sekat itu segera luntur, menyatu dalam wajah kemanusiaan. Tanpa komando beberapa pendaki yang sudah terlebih dulu sampai di goa Walet memberikan bantuan secepatnya. Seorang gadis membantu menggantikan baju Mutia yang basah. Seorang lagi memberikan dua lembar Hokkari. Di gosok-gosokkannnya ke kaki dan bagian tubuh Mutia. Kaos lengan panjang, jaket polar dan sleeping bag segera membalut Mutia, seperti  kepompong.

 Separuh sadar, Mutia menatap lelaki itu? Samar. Tak ada seorang pun selain dia dan lelaki itu. Hanya sesekali dia mendengar beberapa kata, “Istirahatlah.” Bahkan, Mutia tidak tahu pasti apakah bubur yang ditelannya itu nyata atau hanya sebuah ilusi. Karena beberapa saat kemudian dia kembali jatuh dalam lelap.

######

Senyap. Hanya beberapa desisan napas terdengar. Semua khusyuk menghadap ke timur. Cahaya merah saga itu muncul di ekor malam. Mula-mula hanya segaris berwarna jingga di langit, kemudian melengkung, dewa Surya yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Awan yang bergulung-gulung itu satu demi satu memecah diri, menjadi kabut, kemudian hilang satu persatu. Lima menit yang menggantikan berjam-jam perjalanan. Letih, lelah itu sirna.

Mutia berdiri di samping lelaki itu. Lelaki yang menggendongnya, lelaki yang menyuapinya dengan bubur yang ternyata bukan mimpi atau halusinasi. Lelaki yang dilemparnya dengan botol air mineral. Lelaki yang siap menerima resiko yang akan dihadapinya. Ya, Adrian berdiri di samping Mutia. Selepas Mutia pergi. Adrian ikut membuntutinya dari kejauhan. Adrian adalah satu dari tujuh lelaki dalam survey itu; diam menunggu langkah yang tepat.


*. Hokkari : Penghangat badan berupa kantung persegi biasa dipakai orang Jepang di waktu musim dingin.

 
 
Blogger Templates