Hypothermialova?
Apakah kau pernah menemukan kata ini, di dalam kamus bahasa Indonesia atau
kamus bahasa mana pun? Tentu dapat kupastikan bahwa kau tak akan menemukan
secuil pun definisi tentangnya. Lalu kau bertambah penasaran ketika dorongan
hormon rasa ingin tahumu semakin meninggi. Seketika kau ketikkan kata itu pada
kotak mesin pencari. Sia-sia saja. Karena aku sudah terlebih dulu melakukan itu
beberapa menit yang lalu. Ya, pada akhirnya Google pun tak mampu menjawab
semuanya.
“Biarkan aku sendiri! Aku sudah muak dengan
kepalsuanmu selama ini.”
Botol air
mineral itu melayang ke muka Adrian. Sayangnya beberapa detik sebelum mendarat,
Adrian lebih dulu mengelak. Meski begitu, keadaan tak akan pernah berubah
seperti kemarin lusa, atau hari-hari yang telah berlalu sebelumnya.
Pertengkaran itu tak bisa dihindarkan lagi, sudah sejak awal pendakian, Mutia
merasa kesal dengan tingkah Adrian. Barangkali sumbu yang selama ini diulur
telah habis, dan ledakan emosi itu tak bisa dihindarkan lagi.
Mutia
mengambil day pack-nya. Ada tipe perempuan ketika sedang marah, seringkali
lebih berbahaya dari jenis binatang apa pun. Mutia satu di antara sekain itu.
“Aku nggak mau
kita bertemu di pendakian ini. Kau yang turun atau sebaliknya.”
Adrian hanya
berdiri mematung. Sama seperti tujuh dari sepuluh lelaki yang ada di dalam
survey yang membahas hubungan pasangan dan reaksi yang terjadi selama
pertengkaran. Hanya sedikit dari lelaki yang mampu membaca pikiran perempuan
yang seringkali lebih rumit dari teka-teki silang atau sudoku level super difficult. Lima dari tujuh yang
diam itu memberikan alasan malu dengan orang-orang sekitar, sedang selebihnya
memilih diam karena benar-benar tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Mutia berjalan sambil menyungut-nyungut. Tak henti
bibirnya menggumamkan keluhan. Beberapa pendaki yang tidak melihat peristiwa
sebelumnya, mungkin berpikir bahwa Mutia adalah sosok pendaki yang misterius. Karena
gumamannya lebih terdengar seperti seorang yang sedang merapal mantra.
Seandainya saja di sini ada sinyal mungkin saja luapan amarahnya sudah terkirim
ke seantero dunia, lewat kicauan tweeter dan update facebooknya yang sudah
terintegrasi.
#######
“Haaa....!” Adrian berteriak sekeras mugkin. Tak peduli
orang-orang di sekelilingnya. Berharap segala sesak yang ada di dalam hatinya ikut keluar. Adrian
berdiri bersandar pada pohon pinus yang batangnya lembab diselimuti lumut dan
tumbuhan paku. Kenapa susah sekali memahami Mutia. Segera dia bergegas
membongkar tenda, dan memasukkan peralatan lainnya ke dalam ransel. Mutia telah
memilih jalannya. Tentu Adrian akan memilih jalannya sendiri. Apa pun resiko
yang akan di hadapinya? Itu urusan nanti.
#####
Belum sampai
dua puluh menit Mutia berhenti, seteguk air dari Cigowong membasahi
kerongkongan, mak nyess masuk ke dalam dadanya yang bergemuruh. Api
itu sedikit meredup. Suhu di kepalanya ikut turun. Kemudian Mutia memejamkan
mata. Menghirup udara sejuk hutan tropis. Menikmati nyanyian dedaunan, suara kreteg ranting kering yang bergerak
diliuk-liukan angin. Bagaimana bisa dia seemosional seperti yang terjadi beberapa
menit yang lalu? Lagi, Mutia memejamkan mata lebih lama, sambil menghirup napas
dalam-dalam. Beberapa burung ikut memamerkan suaranya. Hilang sudah pening
kenangan macet, knalpot dan bising kota.
Gerimis jatuh
satu persatu. Mutia tersenyum. Mutia selalu menyukai hujan dalam bentuk apa
pun. Baik hujan perawan berupa gerimis yang malu turun satu persatu atau hujan frontal yang jatuh memukul-mukul apa pun
yang menghalanginya. Mutia lupa bahwa segala perlengkapannya ada di ransel
Adrian. Sedang day pack yang
dibawanya kosong. Hanya botol air mineral isi ulang dari mata air Cigowong.
Mutia segera
bergegas berjalan menyusuri jalur yang semakin menyempit. Waktu berjalan
bergiliran dari detik ke menit. Kontur tanah berubah, dari tanah merah menjadi
tanah cadas. Tak ada pohon pinus dan rimbun pepohonan tropis lagi. Kini
perbatasan vegetasi itu mulai nampak. Berganti rerumputan, semak-semak dan
pepohonan cantigi di kanan dan kiri jalur.
Harapan Mutia
punah sudah. Sebelumnya Mutia berharap seperti pendakian sebelumnya. Hujan
turun hanya numpang lewat. Tapi ini benar-benar lebat. Kuyup sudah seluruh
badan Mutia. Tak ada jas hujan, apalagi tenda untuk berteduh. Dan beberapa ratus meter ke depan adalah jalur
yang tidak mungkin seorang pun mendirikan tenda. Harapan satu-satunya adalah
menyegerakan langkah kakinya untuk segera sampai di goa Walet. Mutia berharap
bisa berteduh di dalam goa, atau menumpang di salah satu tenda.
Tanpa disadari, langkah Mutia mulai
melambat. Semakin pelan. Bibirnya pucat, bergerak-gerak tak dapat dikendali.
Jemari kaki dan tangannya mati rasa. Napasnya tersengal. Langit terlihat gelap.
Sempurna gelap. Dan Mutia jatuh tak sadarkan diri.
Dengan tergopoh-gopoh lelaki itu mendekati Mutia. Bersama dua orang
kawannya mereka berbagi tugas. Berganti beban. Segera digendongnya Mutia.
Sebenarnya goa Walet tinggal satu tikungan lagi. Namun, sejak semalam, hanya
sepotong roti tawar yang sempat masuk ke dalam perut Mutia. Sesaat sebelum
pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang berlanjut sampai pagi.
####
Tak ada Jawa,
Sunda, Cina. Tak ada Islam, Budha, Kristen. Tak ada pendukung Jokowi atau
Prabowo. Sekat-sekat itu segera luntur, menyatu dalam wajah kemanusiaan. Tanpa
komando beberapa pendaki yang sudah terlebih dulu sampai di goa Walet memberikan
bantuan secepatnya. Seorang gadis membantu menggantikan baju Mutia yang basah.
Seorang lagi memberikan dua lembar Hokkari.
Di gosok-gosokkannnya ke kaki dan bagian tubuh Mutia. Kaos lengan panjang,
jaket polar dan sleeping bag segera
membalut Mutia, seperti kepompong.
Separuh sadar, Mutia menatap lelaki itu? Samar.
Tak ada seorang pun selain dia dan lelaki itu. Hanya sesekali dia mendengar beberapa
kata, “Istirahatlah.” Bahkan, Mutia tidak tahu pasti apakah bubur yang
ditelannya itu nyata atau hanya sebuah ilusi. Karena beberapa saat kemudian dia
kembali jatuh dalam lelap.
######
Senyap. Hanya
beberapa desisan napas terdengar. Semua khusyuk menghadap ke timur. Cahaya merah
saga itu muncul di ekor malam. Mula-mula hanya segaris berwarna jingga di
langit, kemudian melengkung, dewa Surya yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Awan
yang bergulung-gulung itu satu demi satu memecah diri, menjadi kabut, kemudian
hilang satu persatu. Lima menit yang menggantikan berjam-jam perjalanan. Letih,
lelah itu sirna.
Mutia berdiri
di samping lelaki itu. Lelaki yang menggendongnya, lelaki yang menyuapinya
dengan bubur yang ternyata bukan mimpi atau halusinasi. Lelaki yang dilemparnya
dengan botol air mineral. Lelaki yang siap menerima resiko yang akan
dihadapinya. Ya, Adrian berdiri di samping Mutia. Selepas Mutia pergi. Adrian
ikut membuntutinya dari kejauhan. Adrian adalah satu dari tujuh lelaki dalam
survey itu; diam menunggu langkah yang tepat.
*. Hokkari : Penghangat badan berupa kantung persegi biasa dipakai orang Jepang di waktu musim dingin.
*. Hokkari : Penghangat badan berupa kantung persegi biasa dipakai orang Jepang di waktu musim dingin.