Apakah kau
kira gunung-gunung itu bisu? Tidak sama sekali. Gunung bukanlah sejumput gundukan tanah yang kau
gambar sewaktu SD dulu, dengan satu jalan lurus di tengahnya, pepohonan cemara,
hamparan persawahan di kanan dan kirinya, serta separuh matahari terbit muncul
tepat di tengah dua gunung. Tidak. Ilustrasi itu terlalu kuno, sedang kisahku
jauh lebih agung dari lukisan yang kau warnai dengan crayonmu.
“Haaa....!” aku berteriak sekeras
mugkin. Berharap segala sesak yang ada di dalam hatiku ikut keluar. Aku berdiri
di tubir kawah. Asap belerang menari di antara kabut yang menutupi jarak pandangan
mata. Sebentar lagi Maghrib. Rintik hujan turun kecil-kecil, hawa dingin menusuk-nusuk
tulang iga. Aku lemparkan bongkahan batu jauh ke dasar kawah, berharap bahwa
batu itu adalah aku. Nyatanya nyaliku tak sebesar batu itu. Desisan angin
seolah sengaja datang mengejekku. “Dasar pengecut.” “Tidak!” Jawabku. Bagiku
melanjutkan hidup lebih ksatria dari pada memilih bunuh diri karena patah hati.
Aku turun dari
puncak dengan perlahan. Jalur bebatuan berlumut dan sisa air guyuran hujan
menebalkan pesan bahwa maut dekat sekali, jika tidak berhati-hati. Aku berhenti
sebentar ketika melihat rimbun pohon bunga Edelweis, meski tidak sedang
berbunga, dan melanjutkan kembali ketika potongan coklat terakhir selesai
kukunyah. Dulu di tempat ini, aku pernah berfoto dengannya.
“Ayo, sedikit
lagi kita sampai.” Gadis itu mencoba membakar semangat lelaki di belakangnya.
“Turun,
Bang?” Sapa lelaki itu kepadaku
“Iya…”
Aku terkejut,
ketika gadis itu menolehkan wajahnya kepadaku.
“Masih jauh,
Bang?“ Ucap lelaki itu
Wajah lelaki
itu pucat sekali.
“Mmm…
Kira-kira sejam lagi. Yakin mau melanjutkan ke puncak?”
Keduanya
tidak menjawab. Hanya saling berpandangan satu sama lain. Ada keraguan dari
masing-masing. Kukeluarkan sale
pisang, kismis dan air mineral dari dalam day
pack. Kata seorang teman, pendaki butuh asupan kalori yang baik, bukan
makanan yang mengenyangkan.
“Nggak, makasih!”
Jawab gadis itu sedikit ketus
“Bukan
untukmu. Kelihatannya dia lebih membutuhkan.”
Aku duduk
meluruskan kaki. Sambil memandang ke kanan. Jauh ke jalur Apoy. Berurutan Aku menjabat tangan lelaki dan
gadis itu,
seolah itu adalah pertemuan pertama kali dengan gadis itu. Nampaknya penguasa langit
sedang menggoreskan cerita getir yang bermula dari sebuah kata; kebetulan.
Jika semua sesuai rencana,
harusnya aku tidak bertemu dengan Rani di sini. Bukankah puncak Mahameru selalu
menjadi tempat untuk merayakan ulang tahunnya tiga tahun belakangan. Bisa saja aku menyapanya sekedar
memecah kebekuan. Membicarakan hal-hal indah
yang dulu telah kulalui bersamanya. Tentang rencana di masa depan, mendirikan
rumah kecil di kaki bukit, menamai putri pertama dengan nama Dewi Rinjani, atau
merencanakan tinggal di salah satu gunung selama empat puluh hari, sama seperti
Musa atau Muhammad yang agung itu sebelum menerima wahyu. Tapi, saat ini aku memilih memainkan peran yang
sedikit canggung kumainkan; menjadi orang yang pura-pura tidak mengenal satu sama lain.
Hening menyergap, seolah tak ada satu daun
pun yang bergerak. Angin diam, burung-burung entah bersembunyi di mana. Peristiwa seperti ini yang
membuatku rindu sekaligus takut ketika berada di gunung. Seolah-olah waktu berhenti
bergulir. Hanya helaan nafas kembang kempis yang terdengar.
Aku terus berjalan.
Meninggalkan mereka berdua. Aku tak menoleh ke belakang. Meskipun keinginan untuk itu begitu
kuat. Kugumamkan dalam hati. Bahwa, aku salah satu rombongan nabi Luth yang pergi
meninggalkan kaum Sodom yang terlaknat. Menoleh berarti sebuah kutukan.
####
Di pertigaan jalur
Apuy-Pasanggrahan hujan deras menyambut. Untunglah, tadi, di goa Walet, sudah
kumasukkan semua barang ke dalam kantong plastik yang biasa digunakan untuk mengangkut
sampah. Ransel water proof dan cover bag yang sudah uzur tak tak bisa
lagi kuandalkan untuk melindungi sleeping
bag, jaket dan perlengkapan lain. Tak apalah meski tak jarang teman-teman
menyebutku pendaki konservatif.
Tak butuh waktu
lama untuk memakai jas hujan. Aku menempatkannya di tumpukan paling atas. Segera
setelah selesai, aku melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalur, aku mencari-cari
sebatang pohon yang telah kutandai. Kusembunyikan jeriken air di sana. Ciremai
memang tak dermawan dalam hal menyediakan mata air. Di depan, kulihat Rani dan
Abi berjalan tertatih. Ternyata mereka tak melanjutkan pendakian sampai puncak.
Kupercepat langkahku, mendekati keduanya.
“Bi, Biar day pack-nya kubawakan.”
“Nggak, Bang.
Makasih.”
“Sudahlah,
biar aku yang bawa. Tak perlu sungkan. Juga tak perlu kau buktikan apa pun pada
Rani.”
Dengan
sedikit memaksa, akhirnya Abi merelakan day
pack nya. Aku mengencangkan tali pengatur beban ranselku. Kusetel kencang,
agar beban menempel pada punggung. Day pack
kupasang di depan dadaku. Ini bukan pertama kali bagiku, membawa satu ransel
dan satu day pack bersamaan.
Aku berjalan
beberapa meter di belakang, menyesuaikan ritme langkah, sambil sesekali
berhenti untuk memunguti sampah plastik yang tercecer di sepanjang jalur
pendakian. Betapa banyak yang bangga dengan menyebut diri sebagai pendaki, tapi
nyatanya tak sedikit jiwanya lebih kerdil dari binatang. Seenaknya buang sampah,
tinggal cuih, semudah buang ludah.
Malam sempurna
gelap. head lamp yang kupakai
ternyata tak banyak membantu. Sering mati. Mungkin kemasukan air. Sebenarnya
aku sudah menyarankan untuk bermalam. Melihat kondisi fisik Abi yang semakin
menurun, tapi Rani menolaknya. Semula mereka merencanakan tek-tok, semua barang mereka tinggal di Cigowong. Rencana yang
menurutku terlalu riskan. Bolehlah berharap pada rencana yang terbaik, tapi
jangan lupa, persiapkan diri untuk menerima hal terburuk. Dan untuk yang
terakhir, banyak pendaki yang sering melupakannya.
“Angga...! Tolong...!”
Jeritan Rani mengagetkanku. Aku segera bergegas menghampiri. Kulihat Rani
menangis, di pangkuannya Abi tergeletak tak sadarkan diri. Kulepaskan day pack dan ransel segera kucari tempat
yang agak rata. Sial, jemariku seakan mati rasa. Kukeluarkan tenda, tak butuh
waktu lama, tenda sudah berdiri. Sengaja aku memilih tenda single frame, lebih mudah memasang dan membongkarnya. Lalu kumasukkan Abi ke dalam tenda.
“Kamu tunggu
di luar. Siapkan air panas. Kompor, nesting ada di tumpukan paling bawah.”
Kuganti baju
dan celana Abi dengan pakaian cadanganku. Sebelumnya kugosok-gosokkan dengan
penghangat badan, entah aku tak tahu namanya, sachet ajaib itu hadiah temanku yang kuliah di Jepang. Lalu kubungkus
tubuh Abi ke dalam sleeping bag.
Hujan telah
reda. Aku keluar dari dalam tenda, kulihat Rani tersedu di depan kompor. Kupunguti
beberapa peralatan yang tercecer ketika sedang gugup tadi. Aku terkejut ketika
tiba-tiba saja Rani sudah berdiri di belakangku. “Plak...!” aku tak sempat
menghindar. Tangannya lebih cepat mendarat di wajahku.
“Ke mana saja
kau selama ini? Kenapa nomor hand phone
ganti?” rentetan pertanyaannya keluar seperti lontaran peluru dari senapan Heckler-Koch.
Tak satu pun pertanyaan kujawab. Kubiarkan saja semua amarahnya keluar. Kembali
Rani menangis. Semakin menjadi. Kutinggalkan dia dengan segala pertanyaannya. Kusiapkan
mie instan serta teh hangat. Sambil menunggu Abi siuman.
Sengaja
kusimpan rapat-rapat kejadian itu. Kejadian yang berlangsung setahun yang lalu,
tiga puluh menit yang menentukan. Percakapan yang terjadi ketika aku menunggui
Rani berdandan di kamarnya. Entah dari mana ayah Rani mengetahui masa lalu
ibuku. Aku sudah berusaha beberapa kali menjelaskan kepada ayahnya bahwa itu
adalah bagian kelam dari masa lalu yang tak perlu lagi diungkap. Tapi nyatanya
ayahnya tak pernah mau menerima kenyataan bahwa aku anak seorang pelacur.
Ada sedikit
kebahagiaan ketika akhirnya aku mengetahui bahwa Rani telah memilih
penggantiku. Atau paling tidak semua pertanyaan yang tak terjawab itu dapat Rani
jadikan sebuah alasan untuk membenciku. Sedang aku sendiri sampai saat ini tak
dapat menemukan sebuah alasan untuk membenci dirinya. Ya, sampai detik ini aku
masih mencintainya.