Social Icons

Halaman

5 Jun 2014

Karena Semua Tak Perlu Dijelaskan



Apakah kau kira gunung-gunung itu bisu? Tidak sama sekali. Gunung  bukanlah sejumput gundukan tanah yang kau gambar sewaktu SD dulu, dengan satu jalan lurus di tengahnya, pepohonan cemara, hamparan persawahan di kanan dan kirinya, serta separuh matahari terbit muncul tepat di tengah dua gunung. Tidak. Ilustrasi itu terlalu kuno, sedang kisahku jauh lebih agung dari lukisan yang kau warnai dengan crayonmu.

Haaa....!” aku berteriak sekeras mugkin. Berharap segala sesak yang ada di dalam hatiku ikut keluar. Aku berdiri di tubir kawah. Asap belerang menari di antara kabut yang menutupi jarak pandangan mata. Sebentar lagi Maghrib. Rintik hujan turun kecil-kecil, hawa dingin menusuk-nusuk tulang iga. Aku lemparkan bongkahan batu jauh ke dasar kawah, berharap bahwa batu itu adalah aku. Nyatanya nyaliku tak sebesar batu itu. Desisan angin seolah sengaja datang mengejekku. “Dasar pengecut.” “Tidak!” Jawabku. Bagiku melanjutkan hidup lebih ksatria dari pada memilih bunuh diri karena patah hati.

Aku turun dari puncak dengan perlahan. Jalur bebatuan berlumut dan sisa air guyuran hujan menebalkan pesan bahwa maut dekat sekali, jika tidak berhati-hati. Aku berhenti sebentar ketika melihat rimbun pohon bunga Edelweis, meski tidak sedang berbunga, dan melanjutkan kembali ketika potongan coklat terakhir selesai kukunyah. Dulu di tempat ini, aku pernah berfoto dengannya.

“Ayo, sedikit lagi kita sampai.” Gadis itu mencoba membakar semangat lelaki di belakangnya.  
“Turun, Bang?” Sapa lelaki itu kepadaku
“Iya…”
Aku terkejut, ketika gadis itu menolehkan wajahnya kepadaku.
“Masih jauh, Bang?“ Ucap lelaki itu
Wajah lelaki itu pucat sekali.
“Mmm… Kira-kira sejam lagi. Yakin mau melanjutkan ke puncak?” 

Keduanya tidak menjawab. Hanya saling berpandangan satu sama lain. Ada keraguan dari masing-masing. Kukeluarkan sale pisang, kismis dan air mineral dari dalam day pack. Kata seorang teman, pendaki butuh asupan kalori yang baik, bukan makanan yang mengenyangkan.

“Nggak, makasih!” Jawab gadis itu sedikit ketus
“Bukan untukmu. Kelihatannya dia lebih membutuhkan.”

Aku duduk meluruskan kaki. Sambil memandang ke kanan. Jauh ke jalur Apoy. Berurutan Aku menjabat tangan lelaki dan gadis itu, seolah itu adalah pertemuan pertama kali dengan gadis itu. Nampaknya penguasa langit sedang menggoreskan cerita getir yang bermula dari sebuah kata; kebetulan.

Jika semua sesuai rencana, harusnya aku tidak bertemu dengan Rani di sini. Bukankah puncak Mahameru selalu menjadi tempat untuk merayakan ulang tahunnya tiga tahun belakangan. Bisa saja aku menyapanya sekedar memecah kebekuan. Membicarakan hal-hal indah yang dulu telah kulalui bersamanya. Tentang rencana di masa depan, mendirikan rumah kecil di kaki bukit, menamai putri pertama dengan nama Dewi Rinjani, atau merencanakan tinggal di salah satu gunung selama empat puluh hari, sama seperti Musa atau Muhammad yang agung itu sebelum menerima wahyu. Tapi, saat ini aku memilih memainkan peran yang sedikit canggung kumainkan; menjadi orang yang pura-pura tidak mengenal satu sama lain.

Hening menyergap, seolah tak ada satu daun pun yang bergerak. Angin diam, burung-burung entah bersembunyi di mana. Peristiwa seperti ini yang membuatku rindu sekaligus takut ketika berada di gunung. Seolah-olah waktu berhenti bergulir. Hanya helaan nafas kembang kempis yang terdengar.

Aku terus berjalan. Meninggalkan mereka berdua. Aku tak menoleh ke belakang. Meskipun keinginan untuk itu begitu kuat. Kugumamkan dalam hati. Bahwa, aku salah satu rombongan nabi Luth yang pergi meninggalkan kaum Sodom yang terlaknat. Menoleh berarti sebuah kutukan.

####

Di pertigaan jalur Apuy-Pasanggrahan hujan deras menyambut. Untunglah, tadi, di goa Walet, sudah kumasukkan semua barang ke dalam kantong plastik yang biasa digunakan untuk mengangkut sampah. Ransel water proof dan cover bag yang sudah uzur tak tak bisa lagi kuandalkan untuk melindungi sleeping bag, jaket dan perlengkapan lain. Tak apalah meski tak jarang teman-teman menyebutku pendaki konservatif. 

Tak butuh waktu lama untuk memakai jas hujan. Aku menempatkannya di tumpukan paling atas. Segera setelah selesai, aku melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalur, aku mencari-cari sebatang pohon yang telah kutandai. Kusembunyikan jeriken air di sana. Ciremai memang tak dermawan dalam hal menyediakan mata air. Di depan, kulihat Rani dan Abi berjalan tertatih. Ternyata mereka tak melanjutkan pendakian sampai puncak. Kupercepat langkahku, mendekati keduanya. 

“Bi, Biar day pack-nya  kubawakan.”
“Nggak, Bang. Makasih.”
“Sudahlah, biar aku yang bawa. Tak perlu sungkan. Juga tak perlu kau buktikan apa pun pada Rani.”

Dengan sedikit memaksa, akhirnya Abi merelakan day pack nya. Aku mengencangkan tali pengatur beban ranselku. Kusetel kencang, agar beban menempel pada punggung. Day pack kupasang di depan dadaku. Ini bukan pertama kali bagiku, membawa satu ransel dan satu day pack bersamaan.

Aku berjalan beberapa meter di belakang, menyesuaikan ritme langkah, sambil sesekali berhenti untuk memunguti sampah plastik yang tercecer di sepanjang jalur pendakian. Betapa banyak yang bangga dengan menyebut diri sebagai pendaki, tapi nyatanya tak sedikit jiwanya lebih kerdil dari binatang. Seenaknya buang sampah, tinggal cuih, semudah buang ludah.

Malam sempurna gelap. head lamp yang kupakai ternyata tak banyak membantu. Sering mati. Mungkin kemasukan air. Sebenarnya aku sudah menyarankan untuk bermalam. Melihat kondisi fisik Abi yang semakin menurun, tapi Rani menolaknya. Semula mereka merencanakan tek-tok, semua barang mereka tinggal di Cigowong. Rencana yang menurutku terlalu riskan. Bolehlah berharap pada rencana yang terbaik, tapi jangan lupa, persiapkan diri untuk menerima hal terburuk. Dan untuk yang terakhir, banyak pendaki yang sering melupakannya.

“Angga...! Tolong...!” Jeritan Rani mengagetkanku. Aku segera bergegas menghampiri. Kulihat Rani menangis, di pangkuannya Abi tergeletak tak sadarkan diri. Kulepaskan day pack dan ransel segera kucari tempat yang agak rata. Sial, jemariku seakan mati rasa. Kukeluarkan tenda, tak butuh waktu lama, tenda sudah berdiri. Sengaja aku memilih tenda single frame, lebih mudah memasang dan membongkarnya.  Lalu kumasukkan Abi ke dalam tenda. 

“Kamu tunggu di luar. Siapkan air panas. Kompor, nesting ada di tumpukan paling bawah.”
Kuganti baju dan celana Abi dengan pakaian cadanganku. Sebelumnya kugosok-gosokkan dengan penghangat badan, entah aku tak tahu namanya, sachet ajaib itu hadiah temanku yang kuliah di Jepang. Lalu kubungkus tubuh Abi ke dalam sleeping bag.

Hujan telah reda. Aku keluar dari dalam tenda, kulihat Rani tersedu di depan kompor. Kupunguti beberapa peralatan yang tercecer ketika sedang gugup tadi. Aku terkejut ketika tiba-tiba saja Rani sudah berdiri di belakangku. “Plak...!” aku tak sempat menghindar. Tangannya lebih cepat mendarat di wajahku.

“Ke mana saja kau selama ini? Kenapa nomor hand phone ganti?” rentetan pertanyaannya keluar seperti lontaran peluru dari senapan Heckler-Koch. Tak satu pun pertanyaan kujawab. Kubiarkan saja semua amarahnya keluar. Kembali Rani menangis. Semakin menjadi. Kutinggalkan dia dengan segala pertanyaannya. Kusiapkan mie instan serta teh hangat. Sambil menunggu Abi siuman.

Sengaja kusimpan rapat-rapat kejadian itu. Kejadian yang berlangsung setahun yang lalu, tiga puluh menit yang menentukan. Percakapan yang terjadi ketika aku menunggui Rani berdandan di kamarnya. Entah dari mana ayah Rani mengetahui masa lalu ibuku. Aku sudah berusaha beberapa kali menjelaskan kepada ayahnya bahwa itu adalah bagian kelam dari masa lalu yang tak perlu lagi diungkap. Tapi nyatanya ayahnya tak pernah mau menerima kenyataan bahwa aku anak seorang pelacur.

Ada sedikit kebahagiaan ketika akhirnya aku mengetahui bahwa Rani telah memilih penggantiku. Atau paling tidak semua pertanyaan yang tak terjawab itu dapat Rani jadikan sebuah alasan untuk membenciku. Sedang aku sendiri sampai saat ini tak dapat menemukan sebuah alasan untuk membenci dirinya. Ya, sampai detik ini aku masih mencintainya.


 
 
Blogger Templates