Sebelum diangkat menjadi nabi,
Muhammad adalah seorang pendaki gunung. Jangan marah dulu. Itu masih berupa
pendapat saya pribadi dan perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai kebenarannya.
Selain sebagai seorang pendaki beliau juga punya hobi “caving.” Saya hanya akan sedikit belajar untuk memahami bahwa
manusia agung ini tak selalu seperti yang tergambar dalam buku sejarah
konvensional yang ada. Beliau dikenal sebagai seorang pedagang mahsyur, jujur,
dan terpercaya. Itu adalah fakta lain yang sudah terlebih dahulu mahsyur.
Oke. Mari kita sejenak menelusuri
manusia agung ini. Dari beberapa buku sejarah tentang beliau saya mengambil
pendapat itu. Sebelum menerima wahyu yang pertama, Muhammad sering menyendiri
di gua Hira. Gua Hira sendiri terdapat di perbukitan setinggi kurang lebih dua
ratus meter dari permukaan laut. Di bukit yang dikenal dengan Jabal Nur inilah
beliau menghabiskan waktu untuk menyendiri. Bahasa kerennya bertapa/berkhalwat.
Jabal Nur/gunung cahaya sendiri terletak di utara kota Mekah, kurang lebih lima
kilo meter dari sana.
Saya ini orang yang sangat iseng.
Menjadi kebiasaan saya ketika sedang tidak ada aktifitas, jauh dari buku,
sedang tidak berada dalam keramaian. Memikirkan hal-hal yang kadang kala
dianggap aneh bagi beberapa teman saya. Misalnya saya memikirkan kenapa film
Spongebob itu kotanya dinamakan “bikini bottom.” Kenapa tokoh utama dalam film
itu malah berupa sekotak spons yang aneh, karena berada di dasar laut. Kenapa
ada Sandy, si tupai yang pintar karate di dalam kota Bikini bottom. “Lu, orang
paling aneh yang pernah gue temui Gus, untung cuma ada satu di dunia ini.” Itu
keluhan salah satu teman saya, ketika saya bertanya padanya tentang hal-hal
yang aneh menurut kacamata kebanyakan orang.
######
Setibanya di Cijahe, setelah merasakan “wahana baru Ancol” yang pindah. Hampir
setengah jam kami menaiki mobil “modifikasi” karena di dalam mobil itu
ditambahi dengan jalinan rangka pipa besi berdiameter kurang lebih sepuluh
sentimeter. Jalanan yang berliku, hanya susunan pecahan batu gunung yang sudah
tidak rata lagi. Jalanan bergelombang mengaduk-aduk perut. Kami berpegangan pada
bangku dan teralis besi yang ada. Mirip dengan off road, bedanya ini mobil L300
bukan Jeep. Enam orang di dalam mobil “bergoyang” bukan karena musik dangdut
yang mengalun lewat radio yang disetel pak sopir, melainkan gelombang jalanan
yang “asik.”
Sepanjang perjalanan dari terminal
Aweh sampai Cijahe, beberapa kali saya menemukan spanduk bergambar perempuan
dan lelaki gagah berpeci dan berkerudung. Sambil tersenyum. Dibawahnya tertulis
“Kemakmuran itu adalah HAK semua warga. Iya dengan tulisan HAK huruf kapital? Ternyata
negeri ini penuh dengan dagelan politik. Jika saja tuan dan nyonya itu tahu
kondisi jalanan yang baru saja kami lalui, apakah mereka masih berani
mengatakan itu? Sambil menggelegkan kepala saya berkata dalam hati, “lipstik
politik.”
Saya berhenti sejenak, sambil menata
perut agar tidak muntah. Di tempat pak RT kami singgah untuk makan siang. Nasi putih,
mie rebus, dan telur mata sapi. Nasinya pulen. Ukuran nasinya terhitung
setengah dari ukuran biasa yang saya temui. Rupanya jenis berasnya lain dengan
yang ada di kota. Padi gogo, jenis padi yang ditanam dengan mengandalkan hujan.
Ditanamnya pun asal saja. Di bukit-bukit dan lereng-lereng yang orang badui
namai dengan huma.
Di sini kami menjumpai beberapa
penduduk badui yang keluar dari kampung mereka. Cara membedakan antara penduduk
badui dalam dan luar adalah dengan melihat ikat kepala yang mereka kenakan. Suku
badui luar memakai ikat kepala biru gelap/hitam, sedangkan suku badui dalam
memakai ikat kepala berwarna putih.
Kami mengobrol dengan Juli. Seorang warga
kampung Cibeo. Pemuda berumur dua puluh tahun. Satu ciri khusus dari orang
badui adalah sorot matanya. Jangan harap anda akan mengobrol dengan mereka
dengan cara menatap mata satu sama lain. Barangkali mereka ini seperti yang
digambarkan pada tokoh pewayangan dengan satria yang “luruh.” Tipe satria yang
selalu rendah hati, lemah lembut, dan pandangan matanya tertunduk mengarah ke bawah.
Saya tertarik dengan figur dan
kepribadian pemuda di depan saya ini. Muda, berkarakter kuat, visioner. Benar. Saya
tidak sedang berbohong atau bermain dengan metafora. Sejak pertama kali melihat
sorot matanya yang tajam saya kagum dengannya. Dan ternyata satu dua cerita
terlontar juga dari mulutnya. Dia sering pergi ke Jakarta, pernah tinggal di
apartemen Menteng, kenal dengan seorang tokoh dari angkatan darat, dari
kepolisian, juga pernah diundang ke kedutaan Panama, juga pernah diundang dalam
pameran fotografi.
Yang sedikit menghenyakkan batin saya
adalah kenyataan bahwa orang-orang badui dalam itu kemana saja jalan kaki. Termasuk
ketika pergi ke Jakarta. JALAN KAKI. Bayangkan dua sampai tiga hari berjalan
kaki. Oke kalau di perkampungan mungkin sudah biasa, karena berjalan di atas
tanah. Nah, kalau di atas jalan raya Jakarta? Yang kalau siang panasnya
naudzubillah. Tanpa alas kaki. Itu beban berat bagi saya sendiri yang sering
mengeluh soal panasnya Jakarta?
Kami berlima terus bercakap-cakap. Sambil
sesekali mulut mengunyah dan menelan manisnya buah manggis. Saya agak menyesal,
kenapa kemarin tidak membeli buah itu lebih banyak. Kalau di Jakarta dijual
perkilonya Rp.10.000; sampai Rp.12.000; di sini kami mendapati harga perkilonya
cuma Rp.3.500;
Gunung, gunung, dan kenapa gunung
menjadi objek yang selalau menarik bagi saya? Itu adalah pertanyaan yang terus
saya cari jawabannya. Nabi Musa ketika pergi setelah melewati laut merah, menerima
sepuluh perintah juga di gunung. Nabi Ibrahim ketika disuruh Tuhan untuk
mencacah beberapa burung dan menempatkan beberapa bagian cacahan daging itu
juga di beberapa gunung. Untuk membuktikan bahwa Tuhanlah yang maha
menghidupkan dan maha mematikan.
Pernahkah anda menonton film Sanctum?
Film tentang eksplorasi kedalam gua terbesar di dunia? Barangkali benar adanya
yang membedakan sucinya suatu tempat bukanlah bangunan dan warna-warni catnya. Yang
membedakan suatu tempat adalah apa yang terjadi di sana. Mungkin saja kita
lebih khusyuk berada di gunung dari pada di masjid. Dalam hal-hal tertentu saya
mendapati kenyataan bahwa saya merasa lebih dekat dengan Tuhan ketika saya berada
di gunung. Ah... entahlah, Itukan sekedar perasaan, bisa saja perasaan saya itu
salah.
(Bersambung)
Jakarta, 04 April 2013
Damar Panuluh Jiwo
mantabz..lanjutkan
BalasHapusSiap Komandan :D
BalasHapus