Social Icons

Halaman

4 Apr 2013

Perjalanan Rasa (Part 2)



Sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad adalah seorang pendaki gunung. Jangan marah dulu. Itu masih berupa pendapat saya pribadi dan perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai kebenarannya. Selain sebagai seorang pendaki beliau juga punya hobi “caving.” Saya hanya akan sedikit belajar untuk memahami bahwa manusia agung ini tak selalu seperti yang tergambar dalam buku sejarah konvensional yang ada. Beliau dikenal sebagai seorang pedagang mahsyur, jujur, dan terpercaya. Itu adalah fakta lain yang sudah terlebih dahulu mahsyur.

Oke. Mari kita sejenak menelusuri manusia agung ini. Dari beberapa buku sejarah tentang beliau saya mengambil pendapat itu. Sebelum menerima wahyu yang pertama, Muhammad sering menyendiri di gua Hira. Gua Hira sendiri terdapat di perbukitan setinggi kurang lebih dua ratus meter dari permukaan laut. Di bukit yang dikenal dengan Jabal Nur inilah beliau menghabiskan waktu untuk menyendiri. Bahasa kerennya bertapa/berkhalwat. Jabal Nur/gunung cahaya sendiri terletak di utara kota Mekah, kurang lebih lima kilo meter dari sana.

Saya ini orang yang sangat iseng. Menjadi kebiasaan saya ketika sedang tidak ada aktifitas, jauh dari buku, sedang tidak berada dalam keramaian. Memikirkan hal-hal yang kadang kala dianggap aneh bagi beberapa teman saya. Misalnya saya memikirkan kenapa film Spongebob itu kotanya dinamakan “bikini bottom.” Kenapa tokoh utama dalam film itu malah berupa sekotak spons yang aneh, karena berada di dasar laut. Kenapa ada Sandy, si tupai yang pintar karate di dalam kota Bikini bottom. “Lu, orang paling aneh yang pernah gue temui Gus, untung cuma ada satu di dunia ini.” Itu keluhan salah satu teman saya, ketika saya bertanya padanya tentang hal-hal yang aneh menurut kacamata kebanyakan orang.

######
   
 Setibanya di Cijahe, setelah merasakan “wahana baru Ancol” yang pindah. Hampir setengah jam kami menaiki mobil “modifikasi” karena di dalam mobil itu ditambahi dengan jalinan rangka pipa besi berdiameter kurang lebih sepuluh sentimeter. Jalanan yang berliku, hanya susunan pecahan batu gunung yang sudah tidak rata lagi. Jalanan bergelombang mengaduk-aduk perut. Kami berpegangan pada bangku dan teralis besi yang ada. Mirip dengan off road, bedanya ini mobil L300 bukan Jeep. Enam orang di dalam mobil “bergoyang” bukan karena musik dangdut yang mengalun lewat radio yang disetel pak sopir, melainkan gelombang jalanan yang “asik.”

Sepanjang perjalanan dari terminal Aweh sampai Cijahe, beberapa kali saya menemukan spanduk bergambar perempuan dan lelaki gagah berpeci dan berkerudung. Sambil tersenyum. Dibawahnya tertulis “Kemakmuran itu adalah HAK semua warga. Iya dengan tulisan HAK huruf kapital? Ternyata negeri ini penuh dengan dagelan politik. Jika saja tuan dan nyonya itu tahu kondisi jalanan yang baru saja kami lalui, apakah mereka masih berani mengatakan itu? Sambil menggelegkan kepala saya berkata dalam hati, “lipstik politik.”

Saya berhenti sejenak, sambil menata perut agar tidak muntah. Di tempat pak RT kami singgah untuk makan siang. Nasi putih, mie rebus, dan telur mata sapi. Nasinya pulen. Ukuran nasinya terhitung setengah dari ukuran biasa yang saya temui. Rupanya jenis berasnya lain dengan yang ada di kota. Padi gogo, jenis padi yang ditanam dengan mengandalkan hujan. Ditanamnya pun asal saja. Di bukit-bukit dan lereng-lereng yang orang badui namai dengan huma.

Di sini kami menjumpai beberapa penduduk badui yang keluar dari kampung mereka. Cara membedakan antara penduduk badui dalam dan luar adalah dengan melihat ikat kepala yang mereka kenakan. Suku badui luar memakai ikat kepala biru gelap/hitam, sedangkan suku badui dalam memakai ikat kepala berwarna putih.

Kami mengobrol dengan Juli. Seorang warga kampung Cibeo. Pemuda berumur dua puluh tahun. Satu ciri khusus dari orang badui adalah sorot matanya. Jangan harap anda akan mengobrol dengan mereka dengan cara menatap mata satu sama lain. Barangkali mereka ini seperti yang digambarkan pada tokoh pewayangan dengan satria yang “luruh.” Tipe satria yang selalu rendah hati, lemah lembut, dan pandangan matanya tertunduk mengarah ke bawah.

Saya tertarik dengan figur dan kepribadian pemuda di depan saya ini. Muda, berkarakter kuat, visioner. Benar. Saya tidak sedang berbohong atau bermain dengan metafora. Sejak pertama kali melihat sorot matanya yang tajam saya kagum dengannya. Dan ternyata satu dua cerita terlontar juga dari mulutnya. Dia sering pergi ke Jakarta, pernah tinggal di apartemen Menteng, kenal dengan seorang tokoh dari angkatan darat, dari kepolisian, juga pernah diundang ke kedutaan Panama, juga pernah diundang dalam pameran fotografi.

Yang sedikit menghenyakkan batin saya adalah kenyataan bahwa orang-orang badui dalam itu kemana saja jalan kaki. Termasuk ketika pergi ke Jakarta. JALAN KAKI. Bayangkan dua sampai tiga hari berjalan kaki. Oke kalau di perkampungan mungkin sudah biasa, karena berjalan di atas tanah. Nah, kalau di atas jalan raya Jakarta? Yang kalau siang panasnya naudzubillah. Tanpa alas kaki. Itu beban berat bagi saya sendiri yang sering mengeluh soal panasnya Jakarta?

Kami berlima terus bercakap-cakap. Sambil sesekali mulut mengunyah dan menelan manisnya buah manggis. Saya agak menyesal, kenapa kemarin tidak membeli buah itu lebih banyak. Kalau di Jakarta dijual perkilonya Rp.10.000; sampai Rp.12.000; di sini kami mendapati harga perkilonya cuma Rp.3.500;

Gunung, gunung, dan kenapa gunung menjadi objek yang selalau menarik bagi saya? Itu adalah pertanyaan yang terus saya cari jawabannya. Nabi Musa ketika pergi setelah melewati laut merah, menerima sepuluh perintah juga di gunung. Nabi Ibrahim ketika disuruh Tuhan untuk mencacah beberapa burung dan menempatkan beberapa bagian cacahan daging itu juga di beberapa gunung. Untuk membuktikan bahwa Tuhanlah yang maha menghidupkan dan maha mematikan.

Pernahkah anda menonton film Sanctum? Film tentang eksplorasi kedalam gua terbesar di dunia? Barangkali benar adanya yang membedakan sucinya suatu tempat bukanlah bangunan dan warna-warni catnya. Yang membedakan suatu tempat adalah apa yang terjadi di sana. Mungkin saja kita lebih khusyuk berada di gunung dari pada di masjid. Dalam hal-hal tertentu saya mendapati kenyataan bahwa saya merasa lebih dekat dengan Tuhan ketika saya berada di gunung. Ah... entahlah, Itukan sekedar perasaan, bisa saja perasaan saya itu salah.

(Bersambung)

Jakarta, 04 April 2013

Damar Panuluh Jiwo


2 komentar:

 
 
Blogger Templates