Setiap orang bisa berubah. Bisa lebih
baik, atau malah sebaliknya. Tapi itu semua adalah sebuah perjalanan. Bagi saya
tak ada perubahan yang buruk, semua itu adalah pelajaran berharga. Sama
berharganya dengan perubahan apa pun. Yang lebih tidak baik menurut saya adalah
“kemandekan,” stagnan, diam di
tempat. Seperti air, mengalirnya adalah bahagia. Diamnya menjadi bencana.
Dari rumah pak RT Cijahe kami
berjalan menyebrangi jembatan pembatas antara Badui luar dengan perkampungan
Cijahe. Saya sengaja melepaskan sandal saya selama perjalanan. Menjadi api
harus terbakar, menjadi air harus basah. Saya ingin menikmati rasa seperti mereka. Di kanan dan kiri
jalan siluet hijau memanjakan pandangan mata. Sejauh mata memandang, rona
langit dan hijau dedaunan menari-nari di depan pandangan.
Jika manusia adalah cermin bagi
manusia lainnya, maka apa yang saya lihat dari orang-orang Badui adalah wajah
kesederhanaan, kepolosan, ketulusan. Mereka adalah manusia-manusia yang lebih
pantas disebut sebenarnya manusia dari pada saya. Merekalah yang mengartikan
dengan sikap bahwa diam itu emas, lebih baik diam dari pada salah berkata, jika
tidak bisa memperbaiki sesuatu alangkah baiknya tidak ikut menambah rusak
sesuatu.
Wajah-wajah satria luruh, penuh dengan kerendah hatian. Setelah
menuruni tanjakan yang tak terlalu tinggi, menyebrangi sungai, setelah berjalan
kurang lebih satu setengah jam, kami tiba di Cikeusik. Bunyi “lesung” bertalu,
hari ini adalah hari Kawalu bagi sebagian kampung Badui. Tak kukira bahwa
perbedaan itu ada juga di sini. Seperti perbedaan pendapat antara NU dengan
Muhammadiyah dalam menentukan jatuhnya satu Syawal.
Senyap, seperti kota mati. Atau setidaknya
mungkin di sini kata dan suara adalah barang keramat. Seperti mantra kutukan. Tak
bisa sembarang diobral dan diucapkan. Sebagian kaum pria sedang berada di huma,
sedang kaum wanitanya sedang menumbuk padi bersama.
Yeni tampak seperti Bunda Theresa. Ia
dikerubungi anak-anak kecil, sebagian malu-malu, sebagian hanya berdiri
menyenderkan badannya pada “gedhek,” dinding rumah yang terbuat dari anyaman
bambu. Yeni masih asik dengan membagi-bagikan biskuit yang telah dia siapkan
sebelumnya. Aku menikmati sajian Tuhan. Seekor anjing sedang tidur ditempat
bekas perapian. Sebatang kayu bakar masih terlihat ujungnya berwarna arang. Gerimis
menangis tak lama setelah kami tiba.
“Nok, kadieu,” Seru Yeni
Bocah kecil itu telanjang bulat,
tanpa sehelai benang pun menutupi badannya, rambutnya ikal, kulitnya
kecoklatan. Ia malu, tak berani mendekati Yeni. Disaat di Jakarta, malu adalah
barang yang sulit didapatkan, maka di sini kau akan temukan dia berserakan. Tertempel
pada wajah-wajah malaikat, pada dinding-dinding, pada anjing-anjing, pada ayam,
pada semua yang ada.
“Istirahat bentar ya, pak?” Pintaku
“Santai saja, lagian masih hujan.”
Jawab Maman
Di sini saya merasa seperti makhluk
asing. Setiap saya memandang anak-anak kecil itu, mereka menunduk. Jika saya
alihkan pandangan ke arah yang lain, mereka melirik kami. Seperti cinta kera,
cinta pada pandangan pertama. Pertamanya malu-malu, lama kelamaan malu-maluin
:D.
(Bersambung)
Jakarta, 13 April 2013
Damar Panuluh Jiwo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar