Social Icons

Halaman

13 Apr 2013

Perjalanan Rasa (Part 3)



Setiap orang bisa berubah. Bisa lebih baik, atau malah sebaliknya. Tapi itu semua adalah sebuah perjalanan. Bagi saya tak ada perubahan yang buruk, semua itu adalah pelajaran berharga. Sama berharganya dengan perubahan apa pun. Yang lebih tidak baik menurut saya adalah “kemandekan,” stagnan, diam di tempat. Seperti air, mengalirnya adalah bahagia. Diamnya menjadi bencana.

Dari rumah pak RT Cijahe kami berjalan menyebrangi jembatan pembatas antara Badui luar dengan perkampungan Cijahe. Saya sengaja melepaskan sandal saya selama perjalanan. Menjadi api harus terbakar, menjadi air harus basah. Saya ingin menikmati rasa seperti mereka. Di kanan dan kiri jalan siluet hijau memanjakan pandangan mata. Sejauh mata memandang, rona langit dan hijau dedaunan menari-nari di depan pandangan.

Jika manusia adalah cermin bagi manusia lainnya, maka apa yang saya lihat dari orang-orang Badui adalah wajah kesederhanaan, kepolosan, ketulusan. Mereka adalah manusia-manusia yang lebih pantas disebut sebenarnya manusia dari pada saya. Merekalah yang mengartikan dengan sikap bahwa diam itu emas, lebih baik diam dari pada salah berkata, jika tidak bisa memperbaiki sesuatu alangkah baiknya tidak ikut menambah rusak sesuatu.

Wajah-wajah satria luruh, penuh dengan kerendah hatian. Setelah menuruni tanjakan yang tak terlalu tinggi, menyebrangi sungai, setelah berjalan kurang lebih satu setengah jam, kami tiba di Cikeusik. Bunyi “lesung” bertalu, hari ini adalah hari Kawalu bagi sebagian kampung Badui. Tak kukira bahwa perbedaan itu ada juga di sini. Seperti perbedaan pendapat antara NU dengan Muhammadiyah dalam menentukan jatuhnya satu Syawal.

Senyap, seperti kota mati. Atau setidaknya mungkin di sini kata dan suara adalah barang keramat. Seperti mantra kutukan. Tak bisa sembarang diobral dan diucapkan. Sebagian kaum pria sedang berada di huma, sedang kaum wanitanya sedang menumbuk padi bersama.

Yeni tampak seperti Bunda Theresa. Ia dikerubungi anak-anak kecil, sebagian malu-malu, sebagian hanya berdiri menyenderkan badannya pada “gedhek,” dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Yeni masih asik dengan membagi-bagikan biskuit yang telah dia siapkan sebelumnya. Aku menikmati sajian Tuhan. Seekor anjing sedang tidur ditempat bekas perapian. Sebatang kayu bakar masih terlihat ujungnya berwarna arang. Gerimis menangis tak lama setelah kami tiba.

“Nok, kadieu,” Seru Yeni

Bocah kecil itu telanjang bulat, tanpa sehelai benang pun menutupi badannya, rambutnya ikal, kulitnya kecoklatan. Ia malu, tak berani mendekati Yeni. Disaat di Jakarta, malu adalah barang yang sulit didapatkan, maka di sini kau akan temukan dia berserakan. Tertempel pada wajah-wajah malaikat, pada dinding-dinding, pada anjing-anjing, pada ayam, pada semua yang ada.

“Istirahat bentar ya, pak?” Pintaku
“Santai saja, lagian masih hujan.” Jawab Maman

Di sini saya merasa seperti makhluk asing. Setiap saya memandang anak-anak kecil itu, mereka menunduk. Jika saya alihkan pandangan ke arah yang lain, mereka melirik kami. Seperti cinta kera, cinta pada pandangan pertama. Pertamanya malu-malu, lama kelamaan malu-maluin :D.

(Bersambung)


Jakarta, 13 April 2013

Damar Panuluh Jiwo.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates