Saya
bukan penggemar musik. Senang, tapi tidak terlalu ngefans jenis musik tertentu.
Meski pada awalnya saya agak “sensi” dengan
keberadaan musik dangdut, bukan dalam hal bermusiknya, tapi dalam hal
penyajiannya. Tahun 2002 ketika saya tinggal di daerah Jalan Katamso, Bandung,
adalah pertama kali saya menyaksikan jenis musik dengan gaya tarian seronok. Beda
sekali dengan di kampung saya. Baru beberapa tahun kemudian ketika dunia layar
kaca heboh
Mendengarkan
musik adalah sebuah ritual khusus bagi saya. Ya, ketika saya masih sekolah dulu, masih duduk di SMK,
hiburan di rumah hanyalah televisi 14 inch hitam putih, dan radio tuner fm yang
saya rakit sendiri seadanya. Dari dua alat paling canggih di rumah saya itulah,
saya menikmati sajian-sajian entertainmen.
Musik
itu seperti ibu yang mendongengkan cerita sebelum tidur. Dari salah satu
stasiun radio kesayangan, saya menikmati momen ketika “nglilir,” tiba-tiba
terbangun, radio masih memutar beberapa lagu, meski kadang juga hanya noise,
kebanyakan malah ayah saya yang mematikannya.
Bertemu
dengan banyak orang, banyak kepala, makin menambah sudut pandang dan pola pikir
seseorang, termasuk saya.
“Enjoy saja. Dengar saja semua musik.
Tinggal menikmati saja kok pakai protes.” Kata seorang teman.
###
Sebelum sholat jum’at saya iseng buka
youtube, untuk mencari video clipnya musikkimia. Saya baru tahu nama band itu
dari Mbak Echa. Lewat sebuah radio yang dinyalakan ketika minggu lalu kami
berenam menikmati makan “kesiangan” di salah satu warung dekat Taman Ismail
Marzuki.
Pertama
kali mendengar intro musiknya, saya teringat lagunya Goo goo dolls, iris. Saya bukan
pemusik, kapasitas mendengar pun bisa dihitung sebagai pendengar paling cemen. Tapi
saya menikmati grup musik ini. Rindu yang terobati, lebih tepatnya seperti itu.
Judul lagunya, “Apakah Harus Seperti Ini.”
Padi
menjadi salah satu band kesukaan saya. Liriknya indah, musiknya pun tak kalah
asik. Meski telah ganti nama atau mungkin hanya vakum, saya tidak tahu pasti. Yang
penting nuansa yang di bawa oleh Musikkimia kental dengan Padi.
#####
“Enjoy saja. Dengar saja semua musik.
Tinggal menikmati saja kok pakai protes.” Kata seorang teman.
Dalam
beberapa kesempatan, kalimat ini saya renungkan kembali. Jika manusia mempunyai
sembilan lubang (dua mata, dua lubang hidung, dua telinga, satu mulut, satu
lewat jalan depan dan belakang) ke semua lubang itu ternyata bisa kita
kendalikan untuk membuka atau menutupnya. Misalnya kita bisa berhenti bernafas
sejenak, bisa menutup mata, tapi tidak untuk telinga. Kita hanya bisa
menonaktifkan pendengaran kita dengan cara menutup lubang telinga kita dengan
tangan atau pun benda lain, atau ketika sedang tidak sadarkan diri (bisa karena
pingsan atau sengaja tidur).
Ada
kalanya kita harus belajar dari telinga. Apa pun yang masuk, biarkan saja tetap
masuk. Toh nanti pada akhirnya, ketika semua telah mengendap dalam kepala, kita
bisa memilih dan memilah apa yang kita suka dan kita inginkan untuk menjadikan
itu bagian dari diri kita atau membuangnya jauh-jauh. Cukup begitu saja.
Jakarta, 12 April 2013
Damar Panuluh Jiwo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar