Hitam. Malam telah merenggut cahaya
dari pandangan kami. Gelap. Kami telah berjalan hampir setengah jam, berputar-putar
di jalan yang sama. Orang-orang jawa menyebut senja dengan kata “surup,” tak
aneh jika ada manusia yang terganggu dengan makhluk halus disebut dengan orang “kesurupan.”
Konon pergantian antara siang dan malam adalah jadwal pergantian tugas jaga
malaikat. Waktu yang paling disukai beberapa makhluk halus untuk
bergentayangan.
“Bagaimana,
Pak?”
“Bentar,
tunggu di sini ya, seingatku tak jauh dari rimbun bambu ini.”
Maman
adalah pemandu kami selama perjalanan. Jika di gunung, akses jalan hanya satu
atau dua cabang, sebatas mengikuti jalur air, maka di perkampungan Badui
jalanan bisa bercabang lebih dari satu. Dan ini yang menyulitkan seseorang
untuk menghafal jalurnya. Tidak ada tanda khusus, lampu merah atau papan
penunjuk arah di sini. (Heh! Lu pikir ini Gunung Sahari Raya...? :P)
Kami
menunggu di samping lumbung padi. Suku Badui mempunyai adat yang unik, mereka
memberi jarak antara rumah tinggal dengan tempat menaruh padi. Sepanjang perjalanan
saya terus menarik-narik dan mengumpulkan kesimpulan. Ada semacam kebijakan
yang terlihat remeh, tapi maknanya sungguh dalam. Bentuk rumah yang sama,
pakaian yang sama, memberikan jarak antara huma, dan lumbung padi. Untuk menjadi
“malaikat,” kita harus melepaskan “kemelekatan.”
Kami
mengeluarkan senter. Rasanya baru jam enam. Tapi kelam telah mengambil peran. Gelap.
Hanya siluet-siluet pohon yang besar menjulang yang masih bisa kami nikmati. Suara
binatang malam mulai muncul satu persatu. Jangkrik, tonggeret. Satu hal yang
masih mengganjal pikiran saya. Sepanjang perjalanan kami, kenapa kami tak
menjumpai di mana orang Badui menguburkan mayat?
ketakutan itu hanya ujung dari ketenangan. Tuhan telah menyiapkan
kedamaian di ujung lainnya.
######
Ini bukan pertama kali kami alami. Beberapa
bulan yang lalu kami mengalami hal serupa ketika mendaki gunung Salak. Derai
hujan yang lebat, lima jalan yang hampir mirip? Kemana kami harus memilih jalur
untuk turun? Kepanikan hanya membuat masalah semakin runyam. Saya, Yeni dan Mas
Catur menunggu disamping lumbung padi yang berbentuk mirip miniatur rumah suku
Badui. Cuma beda ukurannya saja.
Gerimis kecil mulai turun. Dalam hati
saya berharap, semoga tidak menjadi hujan deras. Entahlah di bukit ini kenapa
rasanya beda. Tak seperti pendakian sebelum-sebelumnya.
Ketika harapan itu hampir-hampir tiada, ketika kesempitan benar-benar
menghimpit, Tuhan itu meuncul dan begitu di harapkan.
“Gus, ke sini! Sudah ketemu jalannya...!”
(Bersambung)
Jakarta, 15 April 2013
Damar Panuluh Jiwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar