Social Icons

Halaman

15 Apr 2013

Perjalanan Rasa (Part 4)



         Hitam. Malam telah merenggut cahaya dari pandangan kami. Gelap. Kami telah berjalan hampir setengah jam, berputar-putar di jalan yang sama. Orang-orang jawa menyebut senja dengan kata “surup,” tak aneh jika ada manusia yang terganggu dengan makhluk halus disebut dengan orang “kesurupan.” Konon pergantian antara siang dan malam adalah jadwal pergantian tugas jaga malaikat. Waktu yang paling disukai beberapa makhluk halus untuk bergentayangan.

            “Bagaimana, Pak?”
            “Bentar, tunggu di sini ya, seingatku tak jauh dari rimbun bambu ini.”

            Maman adalah pemandu kami selama perjalanan. Jika di gunung, akses jalan hanya satu atau dua cabang, sebatas mengikuti jalur air, maka di perkampungan Badui jalanan bisa bercabang lebih dari satu. Dan ini yang menyulitkan seseorang untuk menghafal jalurnya. Tidak ada tanda khusus, lampu merah atau papan penunjuk arah di sini. (Heh! Lu pikir ini Gunung Sahari Raya...? :P)

            Kami menunggu di samping lumbung padi. Suku Badui mempunyai adat yang unik, mereka memberi jarak antara rumah tinggal dengan tempat menaruh padi. Sepanjang perjalanan saya terus menarik-narik dan mengumpulkan kesimpulan. Ada semacam kebijakan yang terlihat remeh, tapi maknanya sungguh dalam. Bentuk rumah yang sama, pakaian yang sama, memberikan jarak antara huma, dan lumbung padi. Untuk menjadi “malaikat,” kita harus melepaskan “kemelekatan.”
           
            Kami mengeluarkan senter. Rasanya baru jam enam. Tapi kelam telah mengambil peran. Gelap. Hanya siluet-siluet pohon yang besar menjulang yang masih bisa kami nikmati. Suara binatang malam mulai muncul satu persatu. Jangkrik, tonggeret. Satu hal yang masih mengganjal pikiran saya. Sepanjang perjalanan kami, kenapa kami tak menjumpai di mana orang Badui menguburkan mayat?

ketakutan itu hanya ujung dari ketenangan. Tuhan telah menyiapkan kedamaian di ujung lainnya.

######

Ini bukan pertama kali kami alami. Beberapa bulan yang lalu kami mengalami hal serupa ketika mendaki gunung Salak. Derai hujan yang lebat, lima jalan yang hampir mirip? Kemana kami harus memilih jalur untuk turun? Kepanikan hanya membuat masalah semakin runyam. Saya, Yeni dan Mas Catur menunggu disamping lumbung padi yang berbentuk mirip miniatur rumah suku Badui. Cuma beda ukurannya saja.

Gerimis kecil mulai turun. Dalam hati saya berharap, semoga tidak menjadi hujan deras. Entahlah di bukit ini kenapa rasanya beda. Tak seperti pendakian sebelum-sebelumnya.

Ketika harapan itu hampir-hampir tiada, ketika kesempitan benar-benar menghimpit, Tuhan itu meuncul dan begitu di harapkan.

“Gus, ke sini! Sudah ketemu jalannya...!”

(Bersambung)


Jakarta, 15 April 2013

Damar Panuluh Jiwo

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates