Social Icons

Halaman

24 Apr 2013

Kasunyataning Urip



“Yo suwungo, yo rame’o
Yo Keriso, yo Warongko’o
Yo Ingsuno, yo Abdi’o”

            Kemarin saya “memaksakan” diri untuk libur. Hehe.. ada gitu karyawan yang libur dipaksa? Abaikan saja soal itu. Yang pasti karena serangan komplikasi, hehe... terdengar canggih sekali bahasa saya ini. Iya, kemarin saya seharian kluthak-kluthek di kosan. Sakit flu, batuk dan diare bersamaan. Untuk sakit yang terakhir bisa anda bayangkan termasuk seberapa tinggi strata kehidupan sosial saya. Menurut analisa dan hipotesa modern, katanya strata sosial seseorang itu bisa dilihat dari penyakit yang dideritanya. Misalnya; kolesterol, ginjal, paru-paru, jantungan, itu semua kan penyakitnya orang yang berkantong tebal. Lha orang-orang seperti saya ini kan cocoknya sakit panu, kudis, dan korengen.
           
            Saya sudah nggak menghitung lagi berapa kali saya bolak-balik ke kamar kecil. Untuk urusan buang ingus dan temannya. Mondar-mandir. Berkali-kali saya menghidup dan mematikan TV, bosen acaranya itu-itu saja. Gosip sepanjang Mbah Subur. Yo wis, ya sudah, saya iseng ngutak-atik laptop saya yang sekarang sudah hampir dua minggu. Sakit kronis, hard disknya nggak ke deteksi. Saya copot baut-bautnya saya copot mainboard hard disk dengan bagian piringan magnetiknya. Dengan bantuan bensin saya bersihkan mainboardnya yang jamuran. Betulkan kata saya. Strata sosial seseorang itu bisa dilihat dari jenis penyakitnya. Ternyata hard disk laptop saya juga panuan. Akibat tempat yang lembab.
           
            “Di bantu yak... bin salabin jadi apa...?”
“Hehe... kok nggak jadi apa-apa...?”
“Oh, kurang tepuk tangannya.”
“Dibantu yak... Bin salabin jadi apa...? Prok... Prok... Prokkk!”

Hehe... sudah kaya Pak Tarno saja. Berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, berhasilah hard disk saya. Dialah yang menghidupkan dan yang mematikan :D. begitu setelah hidup, saya kebingungan lagi mau ngapain?

Saya melihat kepingan DVD seorang teman kos, kepingan DVD berjudul “Nabi Darurat, Rosul Ad Hoc.” Hampir setahun yang lalu kami menyaksikan teater itu. Drama teatrikal yang penuh dengan bahasa sufi. Saya sampai beberapa kali geleng-geleng kepala. Berapa lama Cak Nun membuat naskah skenarionya. Pemilihan kata, dialog-dialognya, serta sentilan-sentilan bernada kritik yang dikemas dalam joke-joke yang khas.

Cerita beskisar tentang Ruwat Sengkolo, alias Joko Kamto. Seorang duda yang ditinggal istrinya. Dia melakukan ritual mengurung diri dalam sangkar. Dan dari sangkar itulah dia mulai berdialog, bermonolog tentang dunia, tentang hakikat diri, tentang hidup dan kehidupan.

“Panca Ganjil”
“1. Keganjilan Yang Maha Ganjil”
2. Keganjilan Yang Ganjil Dan Bergenjil”
“3. Keganjilan Indonesia.”
“4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh keganjilan Dalam Permusyawaratan Perganjilan”.
“5. Keganjilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Ruwat Sengkolo mengajarkan bahwa untuk menjadi jati diri, kita harus merobohkan sangkar kejumudan kita.

“Agama kok gitu?”
“Gitu kok agama!”
“Kiai kok gitu?”
“Gitu kok, Kiai!”

Ada Alex Sarpin, sang sarjana S2. Yang dikemas dalam kritis. Cak Nun menggambarkan tokoh ini dengan sindiran, bahwa sarjana-sarjana yang lahir di negeri ini adalah sarjana yang pandai menghafal teks dalam buku-buku. Bahkan di sindir dengan guyonan sarjana Ensiklopedia. Karena apapun yang dibicarakannya terus menerus mengacu pada buku-buku yang dia pegang.

Asik, menarik, dan layak untuk anda tonton. Untuk mengurangi kebosanan anda pada sinetron dan film-film hantu Indonesia.

Well, dibalik suka ada duka. Karena suka dan duka hanyalah dipisahkan oleh selebar perbedaan yang sangat tipis. Bisa jadi mereka adalah dua makhluk ciptaan Tuhan yang kembar siam.  Dan begitu saja cerita saya, untuk cerita lengkapnya silakan beli DVDnya. Yang paling membahagiakan saya dibalik libur saya kemari. Hehe... laptop saya bernyawa lagi.


Wassalam.

Jakarta, 24 April 2013

Damar Panuluh Jiwo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Blogger Templates