Anda
pernah dengar istilah di atas? Jika belum, silakan googling. Hehe... :D, secara
sederhananya OAG adalah metode yang diwariskan dari generasi ke generasi (khususnya
orang jawa), metode untuk menyambungkan beberapa pemikiran, kata atau istilah. Awalnya
saya mengira bahwa itu adalah metode konyol, pembenaran, dan segala hal tentang
melakukan sesuatu di luar kaidah. Ternyata apa yang saya duga salah. Ada proses
perenungan, pencarian makna dan tidak sekedar menggabungkan dua atau beberapa
istilah. Khoirul Ma’ruf, seorang tetangga yang sudah saya anggap sebagai guru,
sering berpesan pada saya,
“Kalau sedang nganggur, coba pikirkan
sesuatu yang dekat denganmu, carilah makna dari pribahasa, carilah makna dari
hal-hal yang sebenarnya terlihat sepele.”
Dari
pesan yang beliau sampaikan itu saya beberapa kali pernah berfikir tentang OAG.
Dan di antaranya akan saya tuliskan sebagai berikut;
1.
Bener tur pener
Bener tur pener
itu bermakna bahwa sesuatu hal yang benar, harus disampaikan dengan tepat. Suatu
kebaikan harus disampaikan dengan sopan. Kebaikan,kebenaran dan keindahan
adalah tiga saudara yang seharusnya selalu berjalan berdampingan. Ada contoh
nyata;
Dulu ketika saya masih kecil, masih
SD. Ada seorang tetangga yang hobinya mabuk-mabukan dan main judi. Sebut saja
namanya Agus. Pada saat bulan Ramadhan datang, si Agus ini ikut sholat tarawih
di mushola. Seingat saya itu adalah pertama kalinya saya melihat Agus sholat di
mushola.
“Mestinya begitu, Gus. Tinggalkan masa
lalu yang buruk, masak mau mabok-mabokan terus.”
Secara bahasa, apa yang disampaikan
sang penceramah adalah sebuah nasihat kebaikan. Tapi, perasaan orang itu
berbeda-beda, ada orang yang kelihatannya rocker, tapi hatinya begitu rapuh,
begitu perasa, begitu halus. Dan wal hasil sejak saat itu Agus tidak muncul
lagi di mushola, mungkin sampai saat ini. Mungkin niat sang penceramah baik.
Tapi tanggapan perasaan Agus lain. Apa yang di lakukan oleh penceramah telah
melukai harga diri Agus. Karena disampaikan di depan umum. Di depan orang
banyak. Dia merasa dipermalukan di hadapan orang banyak.
######
Hampir setahun yang lalu saya ngobrol
dengan Mas Ma’ruf, di rumah beliau. Sambil makan gorengan. Beliau mengambil
Bakwan dan memotongnya menjadi dua, separuh diberikan pada saya dan separuhnya
lagi beliau makan.
“Rasanya gimana, Gus?”
“Apanya, Mas?” Saya masih tidak tahu
dengan pelajaran yang Mas Ma’ruf ajarkan.
Kemudian, Mas Ma’ruf mengambil Bakwan
dari piring, menggigitnya, baru kemudian memotongnya, dan memberikan potongan
yang telah dia gigit kepada saya. Saya sedikit menelan ludah. Kalau Bakwan ini
saya buang, saya tidak sopan pada Guru. Tapi kalau saya makan, kok nelongso temen, Kasihan sekali nasib
saya, memakan sisa makanan orang lain.
“Seandainya, kamu tidak mengenal
saya, atau pun mengenal saya? Apakah yang saya lakukan ini sopan? Bagaimana perasaan
kamu menerima ‘sisa’ makanan yang
telah saya gigit?”
...... (hening beberapa menit)
“Coba kamu lihat potongan Bakwan tadi.”
Saya amati lagi potongan Bakwan yang
ada di tangan saya, tak ada secuilpun bekas gigitan pada Bakwan yang saya
pegang.
“Meskipun, saya memberimu potongan
yang tak kena gigitan saya, secara unggah-ungguh, secara sopan santun, saya
telah melukai dan bahkan merendehkan kamu di hadapan saya. Sekarang kamu
ngerti?”
“Njih, Mas.”
Dan, begitu saja. Banyak hal yang
seringkali kita anggap benar, namun kenyataannya malah menjauhkan seseorang
dari kebenaran Tuhan. Semoga saya, anda, keluarga, dan bangsa ini terlindungi
dari hal-hal yang demikian. Have a nice day, Everybody :D
(Bersambung)
Jakarta, 16 April 2013
Damar Panuluh Jiwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar